UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia;
b. bahwa Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. bahwa selama ini pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mata Uang;
Mengingat
:
1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG – UNDANG TENTANG MATA UANG.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.
2. Uang adalah alat pembayaran yang sah.
3. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk kapal dan pesawat terbang yang berbendera Republik Indonesia, Kedutaan Republik Indonesia, dan kantor perwakilan Republik Indonesia lainnya di luar negeri.
5. Ciri Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Rupiah yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan identitas, membedakan harga atau nilai nominal, dan mengamankan Rupiah tersebut dari upaya pemalsuan.
6. Kertas Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah kertas yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama.
7. Logam Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah logam yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama.
8. Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
9. Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
10. Pengelolaan Rupiah adalah suatu kegiatan yang mencakup Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah yang dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
11. Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menetapkan besarnya jumlah dan jenis pecahan berdasarkan perkiraan kebutuhan Rupiah dalam periode tertentu.
12. Pencetakan adalah suatu rangkaian kegiatan mencetak Rupiah.
13. Pengeluaran adalah suatu rangkaian kegiatan menerbitkan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
14. Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
15. Pencabutan dan Penarikan adalah rangkaian kegiatan yang menetapkan Rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Rupiah sehingga tidak menyerupai Rupiah.
17. Penyidik adalah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
19. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
BAB II MACAM DAN HARGA RUPIAH Bagian Kesatu Macam Rupiah Pasal 2
(1) Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.
(2) Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.
(3) Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.
Bagian Kedua Harga Rupiah Pasal 3
(1) Harga Rupiah merupakan nilai nominal yang tercantum pada setiap pecahan Rupiah.
(2) Satu Rupiah adalah 100 (seratus) sen.
(3) Pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(4) Dalam menetapkan pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah memperhatikan kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat pembayaran, dan/atau kebutuhan masyarakat.
(5) Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang.
BAB III CIRI, DESAIN, DAN BAHAN BAKU RUPIAH Bagian Kesatu Ciri Rupiah Pasal 4 Ciri Rupiah terdiri atas ciri umum dan ciri khusus. Pasal 5
(1) Ciri umum Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara ”Garuda Pancasila”;
b. frasa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia”;
c. sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya;
d. tanda tangan pihak Pemerintah dan Bank Indonesia;
e. nomor seri pecahan;
f. teks ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI …”; dan
g. tahun emisi dan tahun cetak.
(2) Ciri umum Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara ”Garuda Pancasila”;
b. frasa ”Republik Indonesia”;
c. sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan
d. tahun emisi.
(3) Setiap pecahan Rupiah selain memiliki ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga memiliki ciri khusus sebagai pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak.
(4) Ciri khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup.
Pasal 6 Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak memuat gambar orang yang masih hidup. Pasal 7
(1) Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden dicantumkan sebagai gambar utama pada bagian depan Rupiah.
(2) Penggunaan gambar pahlawan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Pemerintah dari instansi resmi yang bertanggung jawab dan berwenang menatausahakan gambar dimaksud dan memperoleh persetujuan dari ahli waris.
(3) Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kedua Desain Rupiah Pasal 8 Desain Rupiah meliputi ciri, tanda tertentu, ukuran, dan unsur pengaman. Bagian Ketiga Bahan Baku Rupiah Pasal 9
(1) Bahan baku Rupiah terdiri atas Kertas Uang atau Logam Uang.
(2) Bahan baku Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan produk dalam negeri dengan menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing serta ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai ciri, desain, dan kriteria bahan baku Rupiah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. BAB IV PENGELOLAAN RUPIAH Bagian Kesatu Umum Pasal 11
(1) Pengelolaan Rupiah meliputi tahapan:
a. Perencanaan;
b. Pencetakan;
c. Pengeluaran;
d. Pengedaran;
e. Pencabutan dan Penarikan; dan
f. Pemusnahan.
(2) Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(3) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah.
(4) Dalam melaksanakan Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menentukan nomor seri uang kertas.
Pasal 12 Seluruh tahapan dalam Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) mengikuti prosedur pengamanan.
Bagian Kedua Perencanaan Pasal 13
(1) Perencanaan dan penentuan jumlah Rupiah yang dicetak dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(2) Penyediaan jumlah Rupiah yang beredar dilakukan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga Pencetakan Pasal 14
(1) Pencetakan Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Pencetakan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di dalam negeri dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai pelaksana Pencetakan Rupiah.
(3) Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Rupiah, Pencetakan Rupiah dilaksanakan oleh badan usaha milik negara bekerja sama dengan lembaga lain yang ditunjuk melalui proses yang transparan dan akuntabel serta menguntungkan negara.
(4) Pelaksana Pencetakan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing.
Bagian Keempat Pengeluaran Pasal 15
(1) Pengeluaran Rupiah dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.
(2) Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari bea materai.
(3) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai berlakunya Rupiah.
Bagian Kelima Pengedaran Pasal 16
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang mengedarkan Rupiah kepada masyarakat.
(2) Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan jumlah uang beredar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengedarkan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Keenam Pencabutan dan Penarikan Pasal 17
(1) Pencabutan dan Penarikan Rupiah dari peredaran dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.
(2) Pencabutan dan Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal yang sama.
(3) Hak untuk memperoleh penggantian Rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal Pencabutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggantian atas Rupiah yang dicabut dan ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Ketujuh Pemusnahan Pasal 18
(1) Pemusnahan terhadap Rupiah yang ditarik dari peredaran dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(2) Jumlah dan nilai nominal Rupiah yang dimusnahkan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(3) Kriteria Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Rupiah yang tidak layak edar;
b. Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau
c. Rupiah yang sudah tidak berlaku.
Pasal 19 Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20
(1) Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik.
(2) Pelaksanaan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB V PENGGUNAAN RUPIAH Pasal 21
(1) Rupiah wajib digunakan dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya
yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.
BAB VI PENUKARAN RUPIAH Pasal 22
(1) Untuk memenuhi kebutuhan Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, Rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penukaran Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain; dan/atau
b. penukaran Rupiah yang lusuh dan/atau rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya.
(2) Penukaran Rupiah yang rusak sebagian karena terbakar atau sebab lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan penggantian apabila tanda keaslian Rupiah tersebut masih dapat diketahui atau dikenali.
(3) Kriteria Rupiah yang lusuh dan/atau rusak yang dapat diberikan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Penukaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
BAB VII LARANGAN Pasal 23
(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.
Pasal 24
(1) Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/atau promosi dengan memberi kata spesimen.
(2) Setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan.
Pasal 25
(1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
(2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
(3) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
Pasal 26
(1) Setiap orang dilarang memalsu Rupiah.
(2) Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
(3) Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
(4) Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(5) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.
Pasal 27
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak, atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
(2) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
BAB VIII PEMBERANTASAN RUPIAH PALSU Pasal 28
(1) Pemberantasan Rupiah Palsu dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu.
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. Badan Intelijen Negara;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Kejaksaan Agung;
d. Kementerian Keuangan; dan
e. Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 29
(1) Kewenangan untuk menentukan keaslian Rupiah berada pada Bank Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian Rupiah kepada masyarakat.
(3) Masyarakat dapat meminta klarifikasi dari Bank Indonesia tentang Rupiah yang diragukan keasliannya.
BAB IX PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA TERHADAP RUPIAH Pasal 30 Pemeriksaan tindak pidana terhadap Rupiah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 31 . . .
Pasal 31 Alat bukti dalam perkara tindak pidana terhadap Rupiah meliputi:
a. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; dan
b. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu:
1. barang yang menyimpan gambar, suara dan film, baik dalam bentuk elektronik maupun optik, dan semua bentuk penyimpanan data; dan/atau
2. data yang tersimpan dalam jaringan internet atau penyedia saluran komunikasi lainnya.
Pasal 32
(1) Selain kewenangan Penyidik sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, Penyidik juga berwenang untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik dapat menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik.
(3) Dalam hal ditemukan terdapat hubungan antara data elektronik dan perkara yang sedang diperiksa, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan pada berkas perkara.
(4) Dalam hal tidak ditemukan adanya hubungan antara data elektronik dan perkara, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus dan Penyidik berkewajiban menjaga rahasia isi data elektronik yang dihapus.
BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 33
(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 34
(1) Setiap orang yang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan memberi kata spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 35
(1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 36
(1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(5) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 37
(1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 38
(1) Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan oleh pegawai Bank Indonesia, pelaksana Pencetakan Rupiah, badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu, dan/atau aparat penegak hukum, pelaku dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara terorganisasi, digunakan untuk kejahatan terorisme, atau digunakan untuk kegiatan yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian nasional, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 39
(1) Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi.
(3) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.
Pasal 40
(1) Dalam hal terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
(2) Lama pidana kurungan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Pasal 41
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 adalah kejahatan.
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 Rupiah kertas dengan ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Rupiah kertas dan Rupiah logam yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan BAB X Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan Mata Uang dan uang kertas dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 46 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 47 Peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 48 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 28 Juni 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Juni 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 64.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
SETIO SAPTO NUGROHO
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2011
TENTANG
MATA UANG
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Mata Uang. Mata Uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 23B mengamanatkan bahwa macam dan harga Mata Uang ditetapkan dengan undang-undang. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga Mata Uang. Rupiah sebagai Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya telah diterima dan digunakan sejak kemerdekaan. Dalam sejarah pengaturan macam dan harga Mata Uang di Indonesia setelah masa kemerdekaan, pernah dibentuk 4 (empat) undang-undang yang mengatur Mata Uang. Penerbitan keempat undang-undang tersebut bukan sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, melainkan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 109 ayat (4) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Dalam kehidupan perekonomian suatu negara, peranan uang sangatlah penting karena uang mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga sehingga dapat dikatakan bahwa uang merupakan salah satu alat utama perekonomian. Dengan uang perekonomian suatu negara akan berjalan dengan baik sehingga mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Selain itu, jika dilihat secara khusus dari bidang moneter, jumlah uang yang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan perekonomian.
Karena melihat perannya yang sangat penting, uang harus dibuat sedemikian rupa agar sulit ditiru atau dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran otoritas yang profesional sangat diperlukan untuk menentukan ciri, desain, dan bahan baku Rupiah. Kejahatan terhadap Mata Uang, terutama pemalsuan uang, dewasa ini semakin merajalela dalam skala yang besar dan sangat merisaukan, terutama dalam hal dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pemalsuan uang yang dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional. Pemalsuan uang dewasa ini ternyata juga menimbulkan kejahatan lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundring), pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human trafficking), baik yang dilakukan secara perseorangan, terorganisasi, maupun yang dilakukan lintas negara. Bahkan, modus dan bentuk kejahatan terhadap Mata Uang semakin berkembang. Sementara itu, ketentuan tindak pidana pemalsuan uang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum mengatur secara komprehensif jenis perbuatan tersebut dan sanksi yang diancamkan. Dengan mempertimbangkan dasar pemikiran tersebut, perlu diatur macam dan harga Mata Uang, termasuk sanksi dalam suatu undang-undang karena hal itu merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Undang-Undang ini mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Rupiah akan berdampak pada kepercayaan masyarakat internasional terhadap Rupiah dan perekonomian nasional pada umumnya sehingga Rupiah memiliki martabat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan Rupiah terjaga kestabilannya. Undang-Undang ini menekankan pula pada Pengelolaan Rupiah yang terintegrasi, mulai dari perencanaan jumlah Rupiah yang akan dicetak, Pencetakan Rupiah, Pengeluaran Rupiah, Pengedaran Rupiah, serta Penarikan dan Pencabutan Rupiah sampai dengan Pemusnahan Rupiah dengan tingkat pengawasan yang komprehensif sehingga ada check and balances antarpihak yang terkait agar tercipta good governance. Penegakan hukum terkait kejahatan Mata Uang, terutama pemalsuan Rupiah, memerlukan pengaturan yang memberikan efek jera bagi pelaku karena efek kejahatan tersebut berdampak luar biasa terhadap perekonomian dan martabat bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini dikenai sanksi pidana yang sangat berat.
Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi (i) pengaturan mengenai Rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku Rupiah; (ii) pengaturan mengenai Pengelolaan Rupiah sejak Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah; (iii) pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu; serta (iv) pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Selain simbol Rp (Rp ditulis tanpa tanda titik), dikenal juga IDR yang merupakan singkatan dari Indonesian Rupiah, biasanya digunakan dalam perdagangan internasional, baik dilaksanakan di dalam maupun di luar negeri. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan. Ayat (4) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan.
Ayat (5) Selama Undang-Undang mengenai perubahan harga Rupiah belum diundangkan, perubahan harga Rupiah tidak dapat dilakukan. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penandatanganan oleh pihak Pemerintah diwakili Menteri Keuangan dan penandatanganan oleh pihak Bank Indonesia diwakili Gubernur Bank Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka (overt)” adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi tanpa bantuan alat. Yang dimaksud dengan “bersifat semi tertutup (semicovert)” adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi dengan menggunakan alat yang sederhana seperti kaca pembesar dan lampu ultraviolet (UV). Yang dimaksud “bersifat tertutup (covert/forensic)” adalah unsur pengaman yang hanya dapat dideteksi dengan menggunakan peralatan laboratorium/forensik.
Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pahlawan nasional” adalah pahlawan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “bagian depan Rupiah” adalah sisi desain Rupiah yang terdapat gambar lambang negara "Garuda Pancasila". Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “tanda tertentu” mencakup warna, gambar, ukuran, besar, bahan Rupiah, dan tanda lainnya. Yang dimaksud dengan “unsur pengaman” termasuk di dalamnya ciri atau tanda yang dapat dipergunakan oleh tunanetra. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berkoordinasi” adalah Bank Indonesia memberitahukan spesifikasi teknis dan ciri bahan baku Rupiah kepada badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dalam upaya mencegah dan memberantas Rupiah Palsu, demikian pula badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dapat memberikan masukan tentang aspek keamanan bahan baku Rupiah kepada Bank Indonesia. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berkoordinasi” diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah, antara lain terkait dengan asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana tentang macam dan harga Rupiah, proyeksi jumlah Rupiah yang perlu dicetak, serta jumlah Rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Untuk menjaga kualitas keamanan Rupiah, dalam Pencetakan Rupiah, Bank Indonesia meminta masukan dari badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” adalah badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang pencetakan Rupiah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Rupiah” adalah ketidaksanggupan yang disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) dan bencana sosial. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “harga yang bersaing” adalah harga yang batasannya ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang dan jasa.
Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Penetapan Pencabutan Rupiah memuat pengaturan mengenai tanggal berakhirnya Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah dan batas waktu penukaran Rupiah kepada bank, Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penarikan Rupiah meliputi penarikan dalam rangka Pencabutan dan penggantian Rupiah yang rusak atau lusuh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang berisi teknis pelaksanaan Pemusnahan Rupiah, termasuk pembuatan berita acara Pemusnahan Rupiah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan lainnya” antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Rupiah yang lusuh” adalah Rupiah yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan. Yang dimaksud dengan “Rupiah yang rusak” adalah Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Rupiah yang ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain karena robek atau uang yang mengerut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “merusak” adalah mengubah bentuk, atau mengubah ukuran fisik dari aslinya, antara lain membakar, melubangi, menghilangkan sebagian, atau merobek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam memberikan penjelasan informasi dan pengetahuan tentang keaslian Rupiah, Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Untuk menyerahkan dan/atau membuka data elektronik dimaksud, Penyidik melakukannya dengan memberikan tanda terima. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5223.
Menimbang
:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia;
b. bahwa Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. bahwa selama ini pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mata Uang;
Mengingat
:
1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG – UNDANG TENTANG MATA UANG.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.
2. Uang adalah alat pembayaran yang sah.
3. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk kapal dan pesawat terbang yang berbendera Republik Indonesia, Kedutaan Republik Indonesia, dan kantor perwakilan Republik Indonesia lainnya di luar negeri.
5. Ciri Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Rupiah yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan identitas, membedakan harga atau nilai nominal, dan mengamankan Rupiah tersebut dari upaya pemalsuan.
6. Kertas Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah kertas yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama.
7. Logam Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah logam yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama.
8. Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
9. Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
10. Pengelolaan Rupiah adalah suatu kegiatan yang mencakup Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah yang dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
11. Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menetapkan besarnya jumlah dan jenis pecahan berdasarkan perkiraan kebutuhan Rupiah dalam periode tertentu.
12. Pencetakan adalah suatu rangkaian kegiatan mencetak Rupiah.
13. Pengeluaran adalah suatu rangkaian kegiatan menerbitkan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
14. Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
15. Pencabutan dan Penarikan adalah rangkaian kegiatan yang menetapkan Rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Rupiah sehingga tidak menyerupai Rupiah.
17. Penyidik adalah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
19. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
BAB II MACAM DAN HARGA RUPIAH Bagian Kesatu Macam Rupiah Pasal 2
(1) Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.
(2) Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.
(3) Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.
Bagian Kedua Harga Rupiah Pasal 3
(1) Harga Rupiah merupakan nilai nominal yang tercantum pada setiap pecahan Rupiah.
(2) Satu Rupiah adalah 100 (seratus) sen.
(3) Pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(4) Dalam menetapkan pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah memperhatikan kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat pembayaran, dan/atau kebutuhan masyarakat.
(5) Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang.
BAB III CIRI, DESAIN, DAN BAHAN BAKU RUPIAH Bagian Kesatu Ciri Rupiah Pasal 4 Ciri Rupiah terdiri atas ciri umum dan ciri khusus. Pasal 5
(1) Ciri umum Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara ”Garuda Pancasila”;
b. frasa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia”;
c. sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya;
d. tanda tangan pihak Pemerintah dan Bank Indonesia;
e. nomor seri pecahan;
f. teks ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI …”; dan
g. tahun emisi dan tahun cetak.
(2) Ciri umum Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara ”Garuda Pancasila”;
b. frasa ”Republik Indonesia”;
c. sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan
d. tahun emisi.
(3) Setiap pecahan Rupiah selain memiliki ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga memiliki ciri khusus sebagai pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak.
(4) Ciri khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup.
Pasal 6 Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak memuat gambar orang yang masih hidup. Pasal 7
(1) Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden dicantumkan sebagai gambar utama pada bagian depan Rupiah.
(2) Penggunaan gambar pahlawan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Pemerintah dari instansi resmi yang bertanggung jawab dan berwenang menatausahakan gambar dimaksud dan memperoleh persetujuan dari ahli waris.
(3) Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kedua Desain Rupiah Pasal 8 Desain Rupiah meliputi ciri, tanda tertentu, ukuran, dan unsur pengaman. Bagian Ketiga Bahan Baku Rupiah Pasal 9
(1) Bahan baku Rupiah terdiri atas Kertas Uang atau Logam Uang.
(2) Bahan baku Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan produk dalam negeri dengan menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing serta ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai ciri, desain, dan kriteria bahan baku Rupiah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. BAB IV PENGELOLAAN RUPIAH Bagian Kesatu Umum Pasal 11
(1) Pengelolaan Rupiah meliputi tahapan:
a. Perencanaan;
b. Pencetakan;
c. Pengeluaran;
d. Pengedaran;
e. Pencabutan dan Penarikan; dan
f. Pemusnahan.
(2) Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(3) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah.
(4) Dalam melaksanakan Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menentukan nomor seri uang kertas.
Pasal 12 Seluruh tahapan dalam Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) mengikuti prosedur pengamanan.
Bagian Kedua Perencanaan Pasal 13
(1) Perencanaan dan penentuan jumlah Rupiah yang dicetak dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(2) Penyediaan jumlah Rupiah yang beredar dilakukan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga Pencetakan Pasal 14
(1) Pencetakan Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Pencetakan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di dalam negeri dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai pelaksana Pencetakan Rupiah.
(3) Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Rupiah, Pencetakan Rupiah dilaksanakan oleh badan usaha milik negara bekerja sama dengan lembaga lain yang ditunjuk melalui proses yang transparan dan akuntabel serta menguntungkan negara.
(4) Pelaksana Pencetakan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing.
Bagian Keempat Pengeluaran Pasal 15
(1) Pengeluaran Rupiah dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.
(2) Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari bea materai.
(3) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai berlakunya Rupiah.
Bagian Kelima Pengedaran Pasal 16
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang mengedarkan Rupiah kepada masyarakat.
(2) Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan jumlah uang beredar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengedarkan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Keenam Pencabutan dan Penarikan Pasal 17
(1) Pencabutan dan Penarikan Rupiah dari peredaran dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.
(2) Pencabutan dan Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal yang sama.
(3) Hak untuk memperoleh penggantian Rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal Pencabutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggantian atas Rupiah yang dicabut dan ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Ketujuh Pemusnahan Pasal 18
(1) Pemusnahan terhadap Rupiah yang ditarik dari peredaran dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(2) Jumlah dan nilai nominal Rupiah yang dimusnahkan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(3) Kriteria Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Rupiah yang tidak layak edar;
b. Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau
c. Rupiah yang sudah tidak berlaku.
Pasal 19 Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20
(1) Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik.
(2) Pelaksanaan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB V PENGGUNAAN RUPIAH Pasal 21
(1) Rupiah wajib digunakan dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya
yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.
BAB VI PENUKARAN RUPIAH Pasal 22
(1) Untuk memenuhi kebutuhan Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, Rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penukaran Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain; dan/atau
b. penukaran Rupiah yang lusuh dan/atau rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya.
(2) Penukaran Rupiah yang rusak sebagian karena terbakar atau sebab lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan penggantian apabila tanda keaslian Rupiah tersebut masih dapat diketahui atau dikenali.
(3) Kriteria Rupiah yang lusuh dan/atau rusak yang dapat diberikan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Penukaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
BAB VII LARANGAN Pasal 23
(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.
Pasal 24
(1) Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/atau promosi dengan memberi kata spesimen.
(2) Setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan.
Pasal 25
(1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
(2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
(3) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
Pasal 26
(1) Setiap orang dilarang memalsu Rupiah.
(2) Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
(3) Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
(4) Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(5) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.
Pasal 27
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak, atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
(2) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
BAB VIII PEMBERANTASAN RUPIAH PALSU Pasal 28
(1) Pemberantasan Rupiah Palsu dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu.
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. Badan Intelijen Negara;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Kejaksaan Agung;
d. Kementerian Keuangan; dan
e. Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 29
(1) Kewenangan untuk menentukan keaslian Rupiah berada pada Bank Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian Rupiah kepada masyarakat.
(3) Masyarakat dapat meminta klarifikasi dari Bank Indonesia tentang Rupiah yang diragukan keasliannya.
BAB IX PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA TERHADAP RUPIAH Pasal 30 Pemeriksaan tindak pidana terhadap Rupiah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 31 . . .
Pasal 31 Alat bukti dalam perkara tindak pidana terhadap Rupiah meliputi:
a. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; dan
b. alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu:
1. barang yang menyimpan gambar, suara dan film, baik dalam bentuk elektronik maupun optik, dan semua bentuk penyimpanan data; dan/atau
2. data yang tersimpan dalam jaringan internet atau penyedia saluran komunikasi lainnya.
Pasal 32
(1) Selain kewenangan Penyidik sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, Penyidik juga berwenang untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik dapat menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik.
(3) Dalam hal ditemukan terdapat hubungan antara data elektronik dan perkara yang sedang diperiksa, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan pada berkas perkara.
(4) Dalam hal tidak ditemukan adanya hubungan antara data elektronik dan perkara, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus dan Penyidik berkewajiban menjaga rahasia isi data elektronik yang dihapus.
BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 33
(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 34
(1) Setiap orang yang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan memberi kata spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 35
(1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 36
(1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(5) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 37
(1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 38
(1) Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan oleh pegawai Bank Indonesia, pelaksana Pencetakan Rupiah, badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu, dan/atau aparat penegak hukum, pelaku dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara terorganisasi, digunakan untuk kejahatan terorisme, atau digunakan untuk kegiatan yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian nasional, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 39
(1) Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi.
(3) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.
Pasal 40
(1) Dalam hal terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
(2) Lama pidana kurungan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Pasal 41
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 adalah kejahatan.
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 Rupiah kertas dengan ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Rupiah kertas dan Rupiah logam yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan BAB X Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan Mata Uang dan uang kertas dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 46 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 47 Peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 48 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 28 Juni 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Juni 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 64.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
SETIO SAPTO NUGROHO
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2011
TENTANG
MATA UANG
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Mata Uang. Mata Uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 23B mengamanatkan bahwa macam dan harga Mata Uang ditetapkan dengan undang-undang. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga Mata Uang. Rupiah sebagai Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya telah diterima dan digunakan sejak kemerdekaan. Dalam sejarah pengaturan macam dan harga Mata Uang di Indonesia setelah masa kemerdekaan, pernah dibentuk 4 (empat) undang-undang yang mengatur Mata Uang. Penerbitan keempat undang-undang tersebut bukan sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, melainkan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 109 ayat (4) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Dalam kehidupan perekonomian suatu negara, peranan uang sangatlah penting karena uang mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga sehingga dapat dikatakan bahwa uang merupakan salah satu alat utama perekonomian. Dengan uang perekonomian suatu negara akan berjalan dengan baik sehingga mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Selain itu, jika dilihat secara khusus dari bidang moneter, jumlah uang yang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan perekonomian.
Karena melihat perannya yang sangat penting, uang harus dibuat sedemikian rupa agar sulit ditiru atau dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran otoritas yang profesional sangat diperlukan untuk menentukan ciri, desain, dan bahan baku Rupiah. Kejahatan terhadap Mata Uang, terutama pemalsuan uang, dewasa ini semakin merajalela dalam skala yang besar dan sangat merisaukan, terutama dalam hal dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pemalsuan uang yang dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional. Pemalsuan uang dewasa ini ternyata juga menimbulkan kejahatan lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundring), pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human trafficking), baik yang dilakukan secara perseorangan, terorganisasi, maupun yang dilakukan lintas negara. Bahkan, modus dan bentuk kejahatan terhadap Mata Uang semakin berkembang. Sementara itu, ketentuan tindak pidana pemalsuan uang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum mengatur secara komprehensif jenis perbuatan tersebut dan sanksi yang diancamkan. Dengan mempertimbangkan dasar pemikiran tersebut, perlu diatur macam dan harga Mata Uang, termasuk sanksi dalam suatu undang-undang karena hal itu merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Undang-Undang ini mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Rupiah akan berdampak pada kepercayaan masyarakat internasional terhadap Rupiah dan perekonomian nasional pada umumnya sehingga Rupiah memiliki martabat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan Rupiah terjaga kestabilannya. Undang-Undang ini menekankan pula pada Pengelolaan Rupiah yang terintegrasi, mulai dari perencanaan jumlah Rupiah yang akan dicetak, Pencetakan Rupiah, Pengeluaran Rupiah, Pengedaran Rupiah, serta Penarikan dan Pencabutan Rupiah sampai dengan Pemusnahan Rupiah dengan tingkat pengawasan yang komprehensif sehingga ada check and balances antarpihak yang terkait agar tercipta good governance. Penegakan hukum terkait kejahatan Mata Uang, terutama pemalsuan Rupiah, memerlukan pengaturan yang memberikan efek jera bagi pelaku karena efek kejahatan tersebut berdampak luar biasa terhadap perekonomian dan martabat bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini dikenai sanksi pidana yang sangat berat.
Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi (i) pengaturan mengenai Rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku Rupiah; (ii) pengaturan mengenai Pengelolaan Rupiah sejak Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah; (iii) pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu; serta (iv) pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Selain simbol Rp (Rp ditulis tanpa tanda titik), dikenal juga IDR yang merupakan singkatan dari Indonesian Rupiah, biasanya digunakan dalam perdagangan internasional, baik dilaksanakan di dalam maupun di luar negeri. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan. Ayat (4) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan.
Ayat (5) Selama Undang-Undang mengenai perubahan harga Rupiah belum diundangkan, perubahan harga Rupiah tidak dapat dilakukan. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penandatanganan oleh pihak Pemerintah diwakili Menteri Keuangan dan penandatanganan oleh pihak Bank Indonesia diwakili Gubernur Bank Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka (overt)” adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi tanpa bantuan alat. Yang dimaksud dengan “bersifat semi tertutup (semicovert)” adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi dengan menggunakan alat yang sederhana seperti kaca pembesar dan lampu ultraviolet (UV). Yang dimaksud “bersifat tertutup (covert/forensic)” adalah unsur pengaman yang hanya dapat dideteksi dengan menggunakan peralatan laboratorium/forensik.
Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pahlawan nasional” adalah pahlawan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “bagian depan Rupiah” adalah sisi desain Rupiah yang terdapat gambar lambang negara "Garuda Pancasila". Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “tanda tertentu” mencakup warna, gambar, ukuran, besar, bahan Rupiah, dan tanda lainnya. Yang dimaksud dengan “unsur pengaman” termasuk di dalamnya ciri atau tanda yang dapat dipergunakan oleh tunanetra. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berkoordinasi” adalah Bank Indonesia memberitahukan spesifikasi teknis dan ciri bahan baku Rupiah kepada badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dalam upaya mencegah dan memberantas Rupiah Palsu, demikian pula badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dapat memberikan masukan tentang aspek keamanan bahan baku Rupiah kepada Bank Indonesia. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berkoordinasi” diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah, antara lain terkait dengan asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana tentang macam dan harga Rupiah, proyeksi jumlah Rupiah yang perlu dicetak, serta jumlah Rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Untuk menjaga kualitas keamanan Rupiah, dalam Pencetakan Rupiah, Bank Indonesia meminta masukan dari badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” adalah badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang pencetakan Rupiah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Rupiah” adalah ketidaksanggupan yang disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) dan bencana sosial. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “harga yang bersaing” adalah harga yang batasannya ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang dan jasa.
Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Penetapan Pencabutan Rupiah memuat pengaturan mengenai tanggal berakhirnya Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah dan batas waktu penukaran Rupiah kepada bank, Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Penarikan Rupiah meliputi penarikan dalam rangka Pencabutan dan penggantian Rupiah yang rusak atau lusuh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang berisi teknis pelaksanaan Pemusnahan Rupiah, termasuk pembuatan berita acara Pemusnahan Rupiah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan lainnya” antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Rupiah yang lusuh” adalah Rupiah yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan. Yang dimaksud dengan “Rupiah yang rusak” adalah Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Rupiah yang ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain karena robek atau uang yang mengerut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “merusak” adalah mengubah bentuk, atau mengubah ukuran fisik dari aslinya, antara lain membakar, melubangi, menghilangkan sebagian, atau merobek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam memberikan penjelasan informasi dan pengetahuan tentang keaslian Rupiah, Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Untuk menyerahkan dan/atau membuka data elektronik dimaksud, Penyidik melakukannya dengan memberikan tanda terima. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5223.