Asal muasal Syekh Siti Jenar sebenarnya tidak jelas, apakah berasal dari Persia atau asli Jawa. (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
Dr. Munir Mulkhan, hlm. 61). Namun, ajarannya cukup memberi pengaruh
besar kepada masyarakat Indonesia hingga sekarang terutama di Jawa.
Syekh Siti Jenar termasuk anggota Walisongo yang hadir pada pertemuan
pertama yang diselenggarakan oleh Sunan Giri, ketua Walisongo yang baru
sebagai pengganti Sunan Ampel. Di dalam pertemuan itu, dibicarakan
tentang permikiran Syekh Siti Jenar yang berkaitan dengan ma’rifat.
Ternyata diketahui bahwa Siti Jenar punya pandangan menyimpang di dalam
beragama. Akibatnya, tokoh ini dikeluarkan dari keanggotaan Walisongo,
bahkan akhirnya dijatuhi hukuman mati.
Hukuman ditetapkan setelah Sultan Demak dan Walisongo memberi
peringatan berkali-kali tentang ajarannya yang merusak aqidah umat
Islam, yang baru saja dengan susah payah ditegakkan Maulana Malik
Ibrahim, di Jawa pada 1404 M. Namun, alasan ini belum dianggap kuat maka
hukuman mati Siti Jenar baru diambil setelah Adipati Pengging, Ki Ageng
Kebo Kenongo dihukum mati karena memberontak kepada kekuasaan Demak
Bintoro, ditambah murid-murid Syekh Siti Jenar yang berbuat onar karena
putus asa dengan kegagalan Adipati Pengging tersebut. Kebo Kenongo
adalah harapan terakhir bagi pengikut Hindu Budha-Animisme untuk
mempertahankan ideologi mereka menghadapi pengaruh dakwah Islam. (Misteri Syekh SIti Jenar, Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 427)
SITI JENAR KIBLAT KAUM ZINDIQ INDONESIA
Sikap frustasi para murid Syekh Siti Jenar dimanifestasikan ke dalam
bentuk ajaran Syekh Siti Jenar yang aneh. Mereka berkeyakinan bahwa
manusia hidup di dunia ini sebenarnya dalam keadaan mati. Maka manusia
yang lalu lalang di muka bumi merupakan mayat-mayat yang gentayangan.
Sosok Siti Jenar telah menjadi komoditas kaum Zindiq Indonesia untuk
mengekspresikan kesesatan mereka, maka warna ajaran Siti Jenar sangat
tegantung pada pemikiran masing-masing orang yang menulis tentang Siti
Jenar.
Ambil contoh, Achmad Chodjim dalam bukunya Sykeh Siti Jenar menggambarkan
Syekh Siti Jenar sebagai sosok liberal yang tidak percaya terhadap
agama dan kitab suci. Pada halaman 34, penulis berkata,”Syekh Siti Jenar
bukanlah seorang teolog. Dia seorang praktisi! Agama baginya bukan
teori yang harus dihafal. Agama adalah sebuah jalan yang harus dilalui.
Dia tidak mengambil pusing dengan nama agama. Walaupun agama sedang
disandangnya Islam. Tetapi, kenyataan hidup, keberadaan diri dan jiwa,
itulah yang menjadi kesadaran Siti Jenar dalam hidupnya di dunia ini.
Siti Jenar menyadari sepenuhnya, bahwa hidup di dunia ini ada di alam
kematian. Karena kita sebagai bangkai kita tidak mampu berkomunikasi
dengan Tuhan.” (Lihat buku Syekh Siti Jenar karya Achmad Chodjim, hlm.34)
Dalam bahasa Jawa dikenal dengan keyakinan “Manunggal-ing kawulo Gusti”
yang berarti dzat Allah menyatu dengan hamba-Nya, seperti keyakinan
yang dikembangkan al-Hallaj dan Ibnu Arabi yang akhirnya dihukum pancung
berdasarkan fatwa para ulama.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kental dengan nuansa tasawuf wihdatul wujud (Manunggal-ing kawulo Gusti), wihdatul Adyan
(penyatuan agama-agama) dan kebatinan kejawen serta sangat kental
dengan ajaran zindiq. Demikian itu tampak di dalam beberapa ungkapan
yang diturunkan Achamad Chodjim dalam bukunya, Syekh Siti Jenar (hlm.
34), yang antara lain:
“Manusia yang hakiki adalah wujud hak, kemandirian dan kodrat.
Berdiri dengan sendirinya. Sukma menjelma sebagai hamba. Hamba menjelma
pada sukma. Napas Sirna menuju ketiadaan. Badan kembali sebagai
tanah.”(Pupuh II:2)
“Adanya Allah karena zikir. Zikir membuat lenyap Dzat, Sifat, Asma
dan Af’al yang Mahatahu. Digulung menjadi ‘Anataya’ dan rasa dalam diri.
Dia itu saya! Timbul pikiran menjadi dzat yang mulia.”(Pupuh II:3)
“Dalam jagat besar dan kecil, di mana pun sama saja. Hanya manusia yang ada. Ki Pengging berani menghirkan tekad bahwa Allah yang dirasakan dalam zikir itu semu, keberadaan palsu. Keberadaan semacam ini karena nama.” (Pupuh II:4)
“Manusia sejati itu, mempunyai sifat dua puluh. Dalam hal ini agama
Budha dan Islam sudah campur. Satu wujud dua nama. Kesukaran tiada lagi.
Ki Pengging sudah memahami (ajaran Siti Jenar).” (Pupuh II:5)
SITI JENAR ANTI AGAMA
Ajaran Siti Jenar menolak semua ajaran agama yang berbau Arab. Ajaran
tersebut tidak menganggap kitab suci sebagai sumber ilmu agama, dan
menghina segala bentuk ibadah praktis. Seperti yang ditegaskan Munir
Mulkhan dalam bukunya, Ajaran dan jalan Kematian Syekh Siti Jenar
, “Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa ketika syahadat, shalat, dan
puasa itu tidak diinginkan, maka hal itu bukanlah sesuatu yang perlu
dilakukan. Demikian pula halnya dengan zakat dan haji, semuanya
dipandang sebagai omong kosong, sebagai kedurjanaan budi dan penipuan
terhadap sesama manusia.” (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Dr. Munir Mulkhan,hlm. 66)
Siti Jenar juga membuat alasan yang sangat aneh, bahwa menurut
pandangan Jawa, pelaksanaan shalat lima waktu itu bukan shalat yang
sebenarnya. Dan kalu toh tetap disebut shalat, maka pelaksanaan shalat
yang tampak lahiriyah ini hanyalah hiasan dari shalat yang Daim. Dalam pemahaman Jawa. Shalat Daim adalah shalat yang ditegakkan secara terus-menerus tidak pernah putus. Baik ketika berjaga maupun ketika tidur. (Syekh Siti Jenar, Achmad Chodjim, hlm. 203)
Menurut Syekh Siti Jenar, hanya orang-orang yang dungu dan tidak tahu
saja yang menuruti aulia atau wali, hanya karena mereka diberi harapan
surga kelak di kemudian hari. Siti Jenar justru tak pernah menuruti
perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah dengan harapan
memperoleh sejumlah pahala yang akan diterima nanti. Ketaatan seseorang
juga bukan karena dahi dan kepalan tangannya sudah menjadi tebal. (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hlm. 66)
Bahkan ajaran Syekh Siti Jenar menolak mentah-mentah kiab suci
sebagai sumber ilmu, seperti kepercayaan yang menyebar di kalangan Sufi
ekstrem. Sebab, menurut Siti Jenar, ilmu tidak dapat dicapai hanya
dengan membaca buku-buku, membaca kitab suci. Mendengarkan petuah kyai
atau wali. Orang yang berilmu berarti mampu mengetahui kahanan,kenyataan,
yang bebas dan pancaindra, mampu melihat tanpa mata, mengengar tanpa
telinga, membau tanpa hidung, merasa tanpa meraba, dan menikmati tanpa
mengecap?
Walaupun latar belakang kehidupan Syekh Siti Jenar tidak jelas,
beberapa dokumen yang menjelaskan ajaran Syekh Siti Jenar sangat banyak
menunjukkan sikap zindiq-nya. Di samping dengan Dzikir Ojrat Ripangi dan matra-matra Lebe Lonthang yang
menimbulkan kesesatan, dia pernah menyuruh membakar masjid dan
mengingkari syari’at Islam. Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa al-Qua’an
merupakan pegangan hidupnya, tetapi secara kontras dia mengingkari
hukumanya dan menganalisa kandungannya menurut pemahaman wihdatul wujud dan hawa nafsu zindiqnya.
AJARAN SITI JENAR DIDOMINASI KAUM ABANGAN
Warna Islam pedalaman yang sinkretis hasil rekayasa Sunan Kalijogo,
yang berbeda dengan warna Islam di daerah pesisir murni, dimanfaatkan
kaum zindiq untuk merusak Islam.
Mereka berpura-pura masuk Islam, namun banyak ajaran agama yang diselewengkan. Dan mereka terpecah menjadi tiga kelompok:
Pertama: Kelompok yang tidak menerima Islam secara kaffah
(menyeluruh) karena menurut mereka agama lama juga tidak kalah baiknya.
Bahkan sebagian mereka membesar-besarkan peranan Sunan Kalijogo adalah
guru mistik terbesar yang pernah ada di Jawa dan sebagai tokoh dalam
perkembangan Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kelompok ini tidak ragu
menggunakan do’a berbahasa Jawa seperti yang dicontohkan Sunan Kalijogo
dengan Mantra Betuah dan Kidung Rumekso Ingweya yang sangat memikat hati. Dari sinilah tumbuhnya aliran kebatinan atau kejawen yang kemudian menjamur sejak akhri abad ke-19.
Kedua : Kelompok yang tidak mau menerima Islam
tetapi tidak berani menentang secara terang-terangan, lalu bersikap
zindiq. Kelompok kedua ini masih melanjutkan upaya seperti yang
dilakukan Syekh Siti Jenar pada masa hidupnya. Namaun, sepnjang abad
ke-17,mereka belum berani berbuat seperti gurunya karena khawatir akan
mengalami nasib yang sama, karena pemerintah Islam Mataram masih sangat
kuat.
Ketiga: Kelompok yang tetap tidak mau menerima Islam dan tetap bertahan dengan agama apa saja selain Islam.
(Misteri Syekh Siti Jenar, Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 427-428)
Demikianlah gambaran sekilas tentang pemikiran Syekh Siti Jenar yang
membawa paham berbahaya Wihdatul Wujud. Maka sungguh mengherenkan jika
pada zaman sekarang pemikiran berbahaya tersebut dibela dan dibenarkan.