UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2011
TENTANG
INFORMASI GEOSPASIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri nusantara dengan segala kekayaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan baik
dan penuh rasa tanggung jawab untuk menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia, baik di masa kini maupun di masa mendatang;
b.
bahwa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya serta
penanggulangan bencana dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
wilayah yurisdiksinya diperlukan informasi geospasial;
c.
bahwa agar informasi geospasial dapat terselenggara dengan tertib, terpadu,
berhasil guna, dan berdaya guna sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan
kepastian hukum, maka perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi
geospasial;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi Geospasial;
Mengingat
:
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28F, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau
kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek
keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian
yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam
sistem koordinat tertentu.
3. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG
adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau
karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada,
atau di atas permukaan bumi.
4. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG
adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam
perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang
berhubungan dengan ruang kebumian.
5. Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya
disingkat IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat dilihat secara
langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan yang tidak berubah
dalam waktu yang relatif lama.
6. Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya
disingkat IGT adalah IG yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang
dibuat mengacu pada IGD.
7. Skala adalah angka perbandingan antara jarak dalam
suatu IG dengan jarak sebenarnya di muka bumi.
8. Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi
yang ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka
acuan posisi untuk IG.
9. Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang selanjutnya
disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi horizontal yang terhubung
satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
10. Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang selanjutnya
disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol geodesi vertikal yang terhubung
satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
11. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional yang selanjutnya
disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi gayaberat yang terhubung
satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
12. Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang
memberikan informasi secara khusus untuk wilayah darat.
13. Peta Lingkungan Pantai Indonesia adalah peta dasar
yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah pesisir.
14. Peta Lingkungan Laut Nasional adalah peta dasar
yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah laut.
15. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
17. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian
yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang membidangi urusan tertentu
dalam hal ini bidang penyelenggaraan IGD.
18. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian.
19. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan usaha.
20. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan hukum.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
IG
diselenggarakan berdasarkan asas:
a.
kepastian hukum;
b.
keterpaduan;
c.
keterbukaan;
d.
kemutakhiran;
e.
keakuratan;
f.
kemanfaatan; dan
g.
demokratis.
Pasal 3
Undang-Undang
ini bertujuan untuk:
a.
menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG yang dapat dipertanggungjawabkan;
b.
mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan berhasil guna melalui kerja
sama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi; dan
c.
mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat.
BAB III
JENIS INFORMASI GEOSPASIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
Jenis
IG terdiri atas:
a.
IGD; dan
b.
IGT.
Bagian Kedua
Informasi Geospasial Dasar
Pasal 5
IGD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
a.
jaring kontrol geodesi; dan
b.
peta dasar.
Pasal 6
Jaring
kontrol geodesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi:
a.
JKHN;
b.
JKVN; dan
c.
JKGN.
Pasal 7
Peta
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b berupa:
a.
Peta Rupabumi Indonesia;
b.
Peta Lingkungan Pantai Indonesia; dan
c.
Peta Lingkungan Laut Nasional.
Pasal 8
(1)
JKHN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a digunakan sebagai kerangka
acuan posisi horizontal untuk IG.
(2)
Koordinat JKHN ditentukan dengan metode pengukuran geodetik tertentu,
dinyatakan dalam sistem referensi koordinat tertentu, dan diwujudkan dalam
bentuk tanda fisik.
(3)
JKHN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian koordinat horizontal.
Pasal 9
(1)
JKVN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b digunakan sebagai kerangka
acuan posisi vertikal untuk IG.
(2)
Tinggi JKVN ditentukan dengan metode pengukuran geodetik tertentu, dinyatakan
dalam datum vertikal tertentu, sistem tinggi tertentu, dan diwujudkan dalam
bentuk tanda fisik.
(3)
JKVN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian vertikal.
Pasal 10
(1)
JKGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c digunakan sebagai kerangka
acuan gayaberat untuk IG.
(2)
JKGN ditetapkan dengan metode pengukuran geodetik tertentu, mengacu pada titik
acuan gayaberat absolut, dan diwujudkan dalam bentuk tanda fisik.
(3)
JKGN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian gayaberat.
Pasal 11
Setiap
orang wajib menjaga tanda fisik jaring kontrol geodesi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (2).
Pasal 12
Peta
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
a.
garis pantai;
b.
hipsografi;
c.
perairan;
d.
nama rupabumi;
e.
batas wilayah;
f.
transportasi dan utilitas;
g.
bangunan dan fasilitas umum; dan
h.
penutup lahan.
Pasal 13
(1)
Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a merupakan garis
pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut.
(2)
Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
garis pantai surut terendah;
b.
garis pantai pasang tertinggi; dan
c.
garis pantai tinggi muka air laut rata-rata.
(3)
Pada Peta Rupabumi Indonesia, garis pantai ditetapkan berdasarkan garis
kedudukan muka air laut rata-rata.
(4)
Pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional, garis
pantai ditetapkan berdasarkan kedudukan muka air laut surut terendah.
(5)
Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dengan mengacu pada
JKVN.
Pasal 14
(1)
Hipsografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b merupakan garis khayal
untuk menggambarkan semua titik yang mempunyai ketinggian yang sama di
permukaan bumi atau kedalaman yang sama di dasar laut.
(2)
Pada Peta Rupabumi Indonesia, hipsografi digambarkan dalam bentuk garis kontur
mukabumi dan titik ketinggian di darat.
(3)
Pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional,
hipsografi digambarkan dalam bentuk garis kontur mukabumi, titik ketinggian di
darat, batimetri, dan titik kedalaman di laut.
Pasal 15
Nama
rupabumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dikumpulkan dengan
menggunakan tata cara pengumpulan nama rupabumi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1)
Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e digambarkan
berdasarkan dokumen penetapan penentuan batas wilayah secara pasti di lapangan
oleh Instansi Pemerintah yang berwenang.
(2)
Dalam hal terdapat batas wilayah yang belum ditetapkan secara pasti di lapangan
oleh Instansi Pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digunakan batas wilayah sementara yang penggambarannya dibedakan dengan
menggunakan simbol dan/atau warna khusus.
Pasal 17
(1)
IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya.
(2)
IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimutakhirkan secara periodik dalam
jangka waktu tertentu.
(3)
Dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau perubahan wilayah
administratif, atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola dan struktur
kehidupan masyarakat, pemutakhiran IGD harus dilakukan tanpa menunggu
pemutakhiran secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria
pemutakhiran IGD diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pemutakhiran IGD diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1)
Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
diselenggarakan pada skala 1:1.000.000, 1:500.000, 1:250.000, 1:100.000,
1:50.000, 1:25.000, 1:10.000, 1:5.000, 1:2.500, dan 1:1.000.
(2)
Peta Lingkungan Pantai Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
diselenggarakan pada skala 1:250.000, 1:50.000, 1:25.000, dan 1:10.000.
(3)
Peta Lingkungan Laut Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
diselenggarakan pada skala 1:500.000, 1:250.000, dan 1:50.000.
Bagian Ketiga
Informasi Geospasial Tematik
Pasal 19
IGT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b wajib mengacu pada IGD.
Pasal 20
Dalam
membuat IGT dilarang:
a.
mengubah posisi dan tingkat ketelitian geometris bagian IGD; dan/atau
b.
membuat skala IGT lebih besar daripada skala IGD yang diacunya.
Pasal 21
(1)
IGT yang menggambarkan suatu batas yang mempunyai kekuatan hukum dibuat
berdasarkan dokumen penetapan batas secara pasti oleh Instansi Pemerintah yang
berwenang.
(2)
Penetapan batas yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah
yang berwenang dilampiri dengan dokumen IGT yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
(3)
Dalam hal terdapat batas yang belum ditetapkan secara pasti oleh Instansi
Pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan batas
sementara yang penggambarannya dibedakan dengan menggunakan simbol dan/atau
warna khusus.
BAB IV
PENYELENGGARA INFORMASI GEOSPASIAL
Pasal 22
(1)
IG yang berjenis IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a hanya
diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2)
Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan
yang disebut Badan Informasi Geospasial sebagai pengganti Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional sesuai dengan amanat Undang-Undang ini.
(3)
Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata
kerja Badan diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 23
(1)
IG yang berjenis IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dapat
diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau setiap
orang.
(2)
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan IGT
berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam menyelenggarakan IGT dapat bekerja sama dengan Badan.
(4)
Setiap orang dapat menyelenggarakan IGT hanya untuk kepentingan sendiri dan
selain yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah.
Pasal 24
(1)
Badan dapat mengintegrasikan:
a.
lebih dari satu IGT yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah atau
Pemerintah daerah menjadi satu IGT baru; dan
b.
IGT yang diselenggarakan oleh lebih dari satu Instansi Pemerintah dan/atau
Pemerintah daerah menjadi satu IGT baru.
(2)
Badan dapat menyelenggarakan IGT dalam hal IGT yang belum diselenggarakan oleh
Instansi Pemerintah selain Badan atau yang belum diselenggarakan oleh
Pemerintah daerah.
BAB V
PENYELENGGARAAN
INFORMASI GEOSPASIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
Penyelenggaraan
IG dilakukan melalui kegiatan:
a.
pengumpulan DG;
b.
pengolahan DG dan IG;
c.
penyimpanan dan pengamanan DG dan IG;
d.
penyebarluasan DG dan IG; dan
e.
penggunaan IG.
Bagian Kedua
Pengumpulan Data Geospasial
Pasal 26
(1)
Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan proses
atau cara untuk mendapatkan DG yang dilakukan dengan menggunakan metode dan
instrumen pengumpulan DG.
(2)
DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
DG Dasar; dan
b.
DG Tematik.
Pasal 27
(1)
Pengumpulan DG dilakukan dengan:
a.
survei dengan menggunakan instrumentasi ukur dan/atau rekam, yang dilakukan di
darat, pada wahana air, pada wahana udara, dan/atau pada wahana angkasa;
b.
pencacahan; dan/atau
c.
cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2)
Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan
standar yang meliputi:
a.
sistem referensi geospasial; dan
b.
jenis, definisi, kriteria, dan format data.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan standar pengumpulan DG
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala
Badan.
Pasal 28
(1)
Pengumpulan DG harus memperoleh izin apabila:
a.
dilakukan di daerah terlarang;
b.
berpotensi menimbulkan bahaya; atau
c.
menggunakan wahana milik asing selain satelit.
(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan
dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1)
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dalam pengumpulan DG pada suatu
kawasan harus memberitahukan kepada pemilik, penguasa, atau penerima manfaat
dari kawasan tersebut.
(2)
Pemilik, penguasa, atau penerima manfaat dari kawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menolak dan/atau menyarankan agar kegiatan pengumpulan data
dilaksanakan pada waktu lain hanya apabila di kawasan tersebut ada hal yang
dapat membahayakan pengumpul data.
(3)
Penolakan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan disampaikan oleh pengumpul
data.
(4)
Pengumpul data dapat melanjutkan kegiatan pada kawasan tersebut apabila
pemilik, penguasa, atau penerima manfaat dari kawasan tidak memberi jawaban
dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bagian Ketiga
Pengolahan Data dan Informasi Geospasial
Pasal 30
Pengolahan
DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b merupakan proses atau
cara mengolah data dan informasi geospasial.
Pasal 31
(1)
Pengolahan DG dan IG dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang:
a.
berlisensi; dan/atau
b.
bersifat bebas dan terbuka.
(2)
Pemerintah memberikan insentif bagi setiap orang yang dapat membangun,
mengembangkan, dan/atau menggunakan perangkat lunak pengolah DG dan IG yang
bersifat bebas dan terbuka.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1)
Pengolahan DG dan IG harus dilakukan di dalam negeri.
(2)
Dalam hal sumber daya manusia dan/atau peralatan yang dibutuhkan belum tersedia
di dalam negeri, pengolahan DG dan IG dapat dilakukan di luar negeri.
(3)
Pengolahan DG dan IG di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mendapat izin dari Badan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 33
Pengolahan
DG dan IG meliputi pemrosesan DG dan penyajian IG.
Pasal 34
(1)
Pemrosesan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus dilakukan sesuai dengan
standar yang meliputi:
a.
sistem proyeksi dan sistem koordinat yang dengan jelas dan pasti dapat
ditransformasikan ke dalam sistem koordinat standar nasional; dan
b.
format, basisdata, dan metadata yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan
IG lain.
(2)
Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 35
Penyajian
IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan dalam bentuk:
a.
tabel informasi berkoordinat;
b.
peta cetak, baik dalam bentuk lembaran maupun buku atlas;
c.
peta digital;
d.
peta interaktif, termasuk yang dapat diakses melalui teknologi informasi dan
komunikasi;
e.
peta multimedia;
f.
bola dunia; atau
g.
model tiga dimensi.
Pasal 36
Penyajian
IG dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b sampai dengan huruf
g wajib menggunakan skala yang ditentukan berdasarkan tingkat ketelitian sumber
data dan tujuan penggunaan IG.
Bagian Keempat
Penyimpanan
dan Pengamanan Data dan Informasi Geospasial
Pasal 37
Penyimpanan
dan pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c merupakan
cara menempatkan DG dan IG pada tempat yang aman dan tidak rusak atau hilang
untuk menjamin ketersediaan IG.
Pasal 38
(1)
Penyimpanan dan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan sesuai
dengan standar prosedur penyimpanan dan mekanisme penyimpanan untuk pengarsipan
DG dan IG.
(2)
Penyimpanan dan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan media penyimpanan elektronik atau cetak.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar prosedur penyimpanan dan mekanisme
penyimpanan untuk pengarsipan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 39
(1)
Instansi Pemerintah menyerahkan duplikat IGT yang diselenggarakannya kepada
Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perpustakaan nasional dan
di bidang arsip nasional dan dapat mengaksesnya kembali.
(2)
Pemerintah daerah menyerahkan duplikat IGT yang diselenggarakannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang perpustakaan daerah dan di bidang
arsip daerah dan dapat mengaksesnya kembali.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan IGT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
(1)
Pengamanan DG dan IG juga dilakukan terhadap tanda fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (2).
(2)
Pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
menjamin agar IG:
a.
tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b.
terjaga kerahasiaannya untuk IG yang bersifat tertutup.
Bagian
Kelima
Penyebarluasan
Data dan Informasi Geospasial
Pasal 41
Penyebarluasan
DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d merupakan kegiatan
pemberian akses, pendistribusian, dan pertukaran DG dan IG yang dapat dilakukan
dengan menggunakan media elektronik dan media cetak.
Pasal 42
IGD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a bersifat terbuka.
Pasal 43
(1)
IGT yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah bersifat
terbuka.
(2)
IGT tertentu yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah
dapat bersifat tertutup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
(1)
Penyelenggara IG yang bersifat terbuka menyebarluaskan IG sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 dengan cara yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2)
Penyelenggara IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat dan mengumumkan
standar pelayanan minimal untuk penyebarluasan IG yang diselenggarakan.
(3)
Pemerintah dapat memberikan penghargaan bagi setiap orang yang membantu
menyebarluaskan IG yang bersifat terbuka.
Pasal 45
(1)
Pemerintah membangun jaringan IG untuk penyebarluasan IG secara elektronik.
(2)
Jaringan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun secara bertingkat dan
terintegrasi pada jaringan IG pusat dan jaringan IG daerah.
(3)
Jaringan IG pusat dilaksanakan oleh Badan.
(4)
Jaringan IG daerah dilaksanakan oleh Pemerintah daerah dan diintegrasikan
dengan jaringan IG pusat oleh Badan.
(5)
Ketentuan mengenai jaringan IG dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 46
Dalam
hal IG memiliki kekuatan hukum, IG tersebut wajib disahkan oleh pejabat yang
berwenang sebelum diumumkan dan disebarluaskan.
Bagian Keenam
Penggunaan Informasi Geospasial
Pasal 47
(1)
Penggunaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e merupakan kegiatan
untuk memperoleh manfaat, baik langsung maupun tidak langsung.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh manfaat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh penyelenggara IG.
Pasal 48
Untuk
memperoleh dan menggunakan IG yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah dan
Pemerintah daerah dapat dikenakan biaya tertentu yang besarnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1)
Pengguna IG berhak mengetahui kualitas IG yang diperolehnya.
(2)
Penyelenggara IG wajib memberitahukan kualitas setiap IG yang
diselenggarakannya dalam bentuk metadata dan/atau riwayat data.
(3)
Pengguna IG berhak menolak hasil IG yang tidak berkualitas.
(4)
Metadata dan/atau riwayat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam
format tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 50
Instansi
Pemerintah, Pemerintah daerah, dan setiap orang yang membuat produk turunan
suatu IG dengan maksud untuk diperjualbelikan wajib mendapat izin dari pemilik
IG.
Pasal 51
Instansi
Pemerintah dan Pemerintah daerah harus menggunakan IG yang akurat dalam pengambilan
keputusan dan/atau penentuan kebijakan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
Pasal 52
Untuk
keperluan penanggulangan bencana, setiap orang harus memberikan IGT yang
dimilikinya apabila diminta oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah yang
diberi tugas dalam urusan penanggulangan bencana.
Bagian Ketujuh
Infrastruktur Penyelenggaraan Informasi Geospasial
Pasal 53
(1)
Pemerintah wajib memfasilitasi pembangunan infrastruktur IG untuk memperlancar
penyelenggaraan IG.
(2)
Infrastruktur IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kebijakan,
kelembagaan, teknologi, standar, dan sumber daya manusia.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, dan
sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VI
PELAKSANA INFORMASI GEOSPASIAL
Pasal 54
Kegiatan penyelenggaraan IG oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah
daerah dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
Pasal 55
(1)
Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh orang
perseorangan wajib memenuhi kualifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh kelompok orang wajib memenuhi kualifikasi
sebagai kelompok yang bergerak di bidang IG sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 56
(1)
Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh badan usaha wajib memenuhi:
a.
persyaratan administratif; dan
b.
persyaratan teknis.
(2)
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling
sedikit meliputi:
a.
akte pendirian badan hukum Indonesia; dan
b.
izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
memiliki sertifikat yang memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia
jasa di bidang IG; dan
b.
memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG.
(4)
Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan oleh lembaga
independen yang telah mendapat akreditasi dari Badan.
(5)
Sertifikat tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan
Kepala Badan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 57
(1)
Badan melakukan pembinaan mengenai pemaknaan, pengarahan, perencanaan, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan IGT.
(2)
Pembinaan penyelenggaraan IGT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
kepada:
a.
penyelenggara IGT; dan
b.
pengguna IG.
(3)
Pembinaan kepada penyelenggara IGT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan melalui:
a.
pengaturan dalam bentuk penerbitan peraturan perundang-undangan, pedoman,
standar, dan spesifikasi teknis serta sosialisasinya;
b.
pemberian bimbingan, supervisi, pendidikan, dan pelatihan;
c.
perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi; dan/atau
d.
penyelenggaraan jabatan fungsional secara nasional untuk sumber daya manusia di
Instansi Pemerintah dan Pemerintah daerah.
(4)
Pembinaan kepada pengguna IG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
melalui:
a.
sosialisasi keberadaan IG beserta kemungkinan pemanfaatannya; dan/atau
b.
pendidikan dan pelatihan teknis penggunaan IG.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 58
Setiap
orang yang tanpa hak dan melawan hukum dilarang menghilangkan, merusak,
mengambil, memindahkan, atau mengubah tanda fisik yang merupakan bagian dari
JKHN, JKVN, dan JKGN serta instrumen survei yang sedang digunakan.
Pasal 59
(1)
Setiap orang dilarang mengubah IGD tanpa izin dari Badan dan menyebarluaskan
hasilnya.
(2)
Setiap orang dilarang menyebarluaskan IGD yang diubah-tanpa izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 60
(1)
Setiap orang dilarang mengubah IGT tanpa izin dari penyelenggara IGT dan
menyebarluaskan hasilnya.
(2)
Setiap orang dilarang menyebarluaskan IGT yang diubah-tanpa izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 61
Setiap
orang dilarang membuat IG yang penyajiannya tidak sesuai dengan tingkat
ketelitian sumber data yang mengakibatkan timbulnya kerugian orang dan/atau
barang.
Pasal 62
Setiap
orang dilarang menyebarluaskan IG yang belum disahkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46.
BAB IX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 63
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 36, Pasal 46, Pasal 49
ayat (2), Pasal 50, atau Pasal 55 dapat dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan;
c.
denda administratif; dan/atau
d.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 64
(1)
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 58 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya
bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.250.000.000,00
(satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 65
(1)
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 59 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
(3)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya
bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 66
(1)
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp125.000.000,00
(seratus dua puluh lima juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 60 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp125.000.000,00
(seratus dua puluh lima juta rupiah).
(3)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya
bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 67
Setiap
orang yang memenuhi unsur Pasal 61 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Pasal 68
(1)
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya
bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1)
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, penyelenggara IG tetap dapat menjalankan
kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun wajib
menyesuaikan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Sebelum Badan yang dimaksudkan Undang-Undang ini ditetapkan, penyelenggaraan
IGD dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
(1)
Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya dari Undang-Undang ini
ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
(2)
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, maka segala peraturan
perundang-undangan yang mengatur dan/atau berkaitan dengan penyelenggaraan IG
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal
71
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 21 April 2011
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 21 April 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 49
Salinan
sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN
SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten
Deputi Perundang-undangan
Bidang
Perekonomian,
Setio
Sapto Nugroho
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
4 TAHUN 2011
TENTANG
INFORMASI
GEOSPASIAL
I. UMUM
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28F mengamanatkan bahwa setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia. Informasi dalam arti luas sebagaimana
diamanatkan dalam pasal tersebut adalah termasuk Informasi Geospasial.
Informasi
Geospasial (IG) merupakan alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang
kebumian. IG sangat berguna sebagai sistem pendukung pengambilan kebijakan
dalam rangka mengoptimalkan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan
ketahanan nasional, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam, penyusunan
rencana tata ruang, perencanaan lokasi investasi dan bisnis perekonomian,
penentuan garis batas wilayah, pertanahan, dan kepariwisataan. IG juga
merupakan informasi yang amat diperlukan dalam penanggulangan bencana,
pelestarian lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan.
Dengan
menyadari pentingnya IG dalam pembangunan di berbagai sektor, IG harus dijamin
kemutakhiran dan keakuratannya serta diselenggarakan secara terpadu. Hal ini
untuk menghindari adanya kekeliruan, kesalahan, dan tumpang tindih informasi
yang berakibat pada ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran pembangunan, dan
inefektivitas informasi. IG secara umum bersifat terbuka dan harus mudah
diakses oleh para pengguna sehingga secara optimal dapat dimanfaatkan.
Keterbukaan IG juga menjadi jaminan adanya pelayanan publik yang baik oleh
aparat pemerintah dalam menyediakan IG bagi kepentingan masyarakat.
Untuk
. . . - 2 -
Untuk mewujudkan keterpaduan dan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan IG, perlu diatur kategorisasi secara pasti. Secara umum IG
terbagi menjadi Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial
Tematik (IGT). IGD mencakup acuan posisi dan peta dasar, adapun IGT mencakup
berbagai ragam tema, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.
IGD menjadi acuan pembuatan berbagai IGT. Oleh karena itu, salah satu ciri
penting IGD adalah unsur-unsurnya tidak berubah dalam waktu yang lama sesuai
dengan karakteristik dari unsur-unsur tersebut.
Selain
kategorisasi IG, perlu diatur pula masalah kelembagaan dalam penyelenggaraan
IG. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian siapa yang bertanggung
jawab atas data dan informasi tertentu. Selanjutnya diperlukan pengaturan
tentang sumber daya manusia dan badan usaha di bidang IG, sehingga industri IG
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kemajuan industri IG akan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan IG di tengah masyarakat dan dalam
proses pembangunan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah bahwa penyelenggaraan IG berlandaskan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hak dan
kewajiban bagi para pemangku kepentingan.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan "keterpaduan" adalah bahwa penyelenggaraan IG
dilakukan bersama-sama oleh Pemerintah, Pemerintah daerah dan setiap orang,
yang harus saling mengisi dan saling memperkuat dalam memenuhi kebutuhan IG,
menghindari terjadinya duplikasi, dan mendorong pemanfaatan IG bersama.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penyelenggaraan IG dimaksudkan untuk
dapat dipergunakan oleh banyak pihak dengan memberikan akses yang mudah kepada
masyarakat untuk mendapatkan IG.
Huruf
d . . . - 3 -
Huruf d
Yang
dimaksud dengan "kemutakhiran" adalah bahwa IG yang disajikan
dan/atau tersedia harus dapat menggambarkan fenomena dan/atau perubahannya
menurut keadaan yang terbaru.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan "keakuratan" adalah bahwa penyelenggaraan IG harus
diupayakan untuk menghasilkan DG dan IG yang teliti, tepat, benar, dan
berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
Huruf
f
Yang
dimaksud dengan "kemanfaatan” adalah bahwa IG harus dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan “demokratis” adalah bahwa penyelenggaraan IG dilaksanakan
secara luas dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Pasal
3
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Cukup
jelas.
Pasal
7
Cukup
jelas.
Pasal
8
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “acuan posisi horizontal” adalah bahwa JKHN dijadikan sebagai
referensi geometris posisi horizontal.
Ayat
(2) . . . - 4 -
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “metode pengukuran geodetik tertentu” adalah cara pengukuran
untuk memperoleh posisi horizontal dengan ketelitian yang diperlukan,
memanfaatkan teknologi penentuan posisi geodetik horizontal, baik secara diam
(statis) maupun bergerak (kinematis/dinamis), secara sporadis maupun terus
menerus (kontinyu), dan secara pasif maupun aktif.
Yang
dimaksud dengan “sistem referensi koordinat tertentu” adalah sistem untuk
menggambarkan koordinat dari titik kontrol geodetik horizontal.
Yang
dimaksud dengan “tanda fisik” adalah suatu objek alam atau buatan yang bersifat
permanen dan stabil yang digunakan sebagai titik kontrol geodetik horizontal.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “tingkat ketelitian koordinat horizontal” adalah ukuran
kedekatan nilai koordinat horizontal hasil pengukuran terhadap nilai
sebenarnya.
Pasal
9
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “acuan posisi vertikal” adalah bahwa JKVN dijadikan sebagai
referensi posisi tinggi.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “metode pengukuran geodetik tertentu” adalah cara pengukuran
untuk memperoleh posisi vertikal dengan ketelitian yang diperlukan,
memanfaatkan teknologi penentuan posisi geodetik vertikal.
Yang
dimaksud dengan “datum vertikal tertentu” adalah bidang yang menjadi acuan
tinggi yang ditetapkan untuk menggambarkan posisi tinggi.
Yang
dimaksud dengan “sistem tinggi tertentu” adalah sistem yang dipilih untuk
mengubah data tinggi dari satuan potensial gayaberat menjadi satuan metrik.
Yang
dimaksud dengan “tanda fisik” adalah suatu objek alam atau buatan yang bersifat
permanen dan stabil yang digunakan sebagai titik kontrol geodetik vertikal.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “tingkat ketelitian vertikal” adalah ukuran kedekatan nilai
tinggi hasil pengukuran terhadap nilai tinggi sebenarnya.
Pasal
10 . . . - 5 -
Pasal 10
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “kerangka acuan gayaberat” adalah bahwa JKGN dijadikan sebagai
referensi penentuan nilai gayaberat.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “metode pengukuran geodetik tertentu” adalah cara pengukuran
untuk memperoleh nilai gayaberat dengan ketelitian yang diperlukan,
memanfaatkan teknologi penentuan gayaberat.
Yang
dimaksud dengan “acuan gayaberat absolut” adalah nilai gayaberat yang
ditentukan dengan pengukuran gayaberat secara mandiri.
Yang
dimaksud dengan “tanda fisik” adalah suatu objek alam atau buatan yang bersifat
permanen dan stabil yang digunakan sebagai titik kontrol geodetik gayaberat.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “tingkat ketelitian gayaberat” adalah ukuran kedekatan nilai
gayaberat hasil pengukuran terhadap nilai gayaberat sebenarnya.
Pasal
11
Yang
dimaksud dengan “tanda fisik jaring kontrol geodesi” adalah satu kesatuan
antara tanda titik kontrol geodetik dan objek permanen-dan-stabil yang
ditempatinya yang digunakan untuk JKHN, JKVN, dan JKGN.
Pasal
12
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “hipsografi” adalah data ketinggian yang bisa digambarkan
dengan berbagai cara, seperti titik-titik tinggi, matriks tinggi (model elevasi
digital), garis khayal yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang
sama (garis kontur), atau warna yang mencerminkan ketinggian.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “perairan” adalah garis yang menunjukkan pertemuan daratan
dengan permukaan tubuh air (massa air) pada suatu wilayah tertentu, seperti laut,
sungai, danau, dan rawa.
Huruf
d . . . - 6 -
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “nama rupabumi” adalah nama yang diberikan kepada unsur
rupabumi, baik berupa unsur alam maupun buatan manusia. Istilah “nama rupabumi”
juga dikenal dengan “toponim”.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan “batas wilayah” adalah garis khayal yang menggambarkan batas
wilayah antarkelurahan/desa, antarkecamatan, antarkabupaten/kota,
antarprovinsi, dan antarnegara.
Huruf
f
Yang
dimaksud dengan “transportasi dan utilitas” adalah titik atau garis yang
menggambarkan prasarana fisik untuk perpindahan manusia dan/atau barang dari
satu tempat ke tempat lain.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan “bangunan dan fasilitas umum” adalah titik atau garis yang
menggambarkan objek buatan manusia dan berbagai fasilitas umum yang berwujud
bangunan.
Huruf
h
Yang
dimaksud dengan “penutup lahan” adalah garis yang menggambarkan batas
penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam
dan/atau bentang buatan.
Pasal
13
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “pasang surut air laut” adalah naik turunnya posisi muka air
laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “surut terendah” adalah saat ketika muka air laut pada
kedudukan air paling rendah dalam suatu periode tertentu yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan International Hydrographic Organization (IHO).
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “pasang tertinggi” adalah saat ketika muka air laut pada
kedudukan paling tinggi dalam suatu periode tertentu yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan International Hydrographic Organization (IHO).
Huruf
c . . . - 7 -
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “tinggi muka air laut rata-rata” adalah tinggi muka air laut
dari hasil rata-rata pengukuran pasang surut laut dalam suatu periode tertentu
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan International Hydrographic
Organization (IHO).
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Yang
dimaksud dengan “garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN” adalah garis
pantai dan JKVN membentuk suatu kesatuan, karena pengamatan pasang surut
diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis
pantai.
Pasal
14
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “garis kontur” adalah garis khayal yang menghubungkan
titik-titik yang memiliki ketinggian yang sama.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “batimetri” adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik
yang memiliki kedalaman yang sama.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “simbol” adalah penggambaran batas dengan menggunakan
tanda-tanda khusus sesuai dengan kaidah kartografi.
Pasal
17 . . . - 8 -
Pasal 17
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “bertahap” adalah diselenggarakan secara berjenjang, wilayah
demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas
kepentingan.
Yang
dimaksud dengan “sistematis” adalah diselenggarakan secara teratur sesuai
dengan sistem dan teknis pemetaan.
Yang
dimaksud dengan “wilayah yurisdiksi” adalah wilayah di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas
Kontinen, dan Zona Tambahan dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan
kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “jangka waktu tertentu” adalah jangka waktu untuk memutakhirkan
IG yang ditentukan berdasarkan kondisi, teknologi, kebutuhan, prioritas, dan
anggaran yang tersedia.
Yang
dimaksud dengan “periodik” adalah kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3
(tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Yang
dimaksud dengan “mengacu” adalah IGD dijadikan sebagai referensi geometris
untuk pembuatan IGT.
Pasal
20
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “tingkat ketelitian geometris” adalah ukuran kedekatan yang
terkait dengan posisi, bentuk, panjang, luas, dan/atau tinggi.
[
Huruf
b
Cukup
jelas.
Pasal
21 . . . - 9 -
Pasal 21
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “batas” adalah garis batas hak atas tanah dan batas kawasan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang,
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana atau undang-undang sejenisnya yang
menyebut tentang kawasan.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “dokumen IGT” adalah dokumen yang berisi IG sebagai penunjang
dalam penetapan batas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
22
Cukup
jelas.
Pasal
23
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “untuk kepentingan sendiri” adalah untuk kepentingan pribadi
dan tidak untuk disebarluaskan.
Pasal
24
Cukup
jelas.
Pasal
25
Cukup
jelas.
Pasal
26
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “DG dasar” adalah DG yang berisi tentang objek yang dapat
dilihat secara langsung atau diukur dari penampakan fisik di muka bumi dan yang
tidak berubah dalam waktu yang relatif lama.
Huruf
b . . . - 10 -
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “DG tematik” adalah DG yang menggambarkan satu atau lebih tema
tertentu.
Pasal
27
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “instrumentasi ukur dan/atau rekam yang dilakukan di darat”
adalah peralatan yang dioperasikan di permukaan bumi atau di bawah permukaan
bumi, misalnya alat meteran, teodolit, total station, Global
Positioning System (GPS), lasercanner, gravimeter, dan alat lainnya
yang digunakan untuk mengumpulkan data.
Yang
dimaksud dengan “instrumentasi ukur dan/atau rekam pada wahana air” adalah
peralatan yang dipasang pada wahana air, misalnya alat echo-sounder,
secchi-disc, dan water-checker.
Yang
dimaksud dengan “instrumentasi ukur dan/atau rekam pada wahana udara” adalah
peralatan yang dipasang pada wahana terbang seperti kamera, sensor radar, dan
sensor lidar.
Yang
dimaksud dengan “instrumentasi ukur dan/atau rekam wahana angkasa” adalah
peralatan yang dipasang pada satelit seperti sensor optik, sensor radar, dan
sensor lidar.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “pencacahan” adalah pengumpulan data tidak dengan alat,
melainkan dengan penghitungan di suatu lokasi, misalnya menghitung jumlah
rumah, wawancara, atau penyebaran kuesioner.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “sistem referensi geospasial” adalah datum geodesi, sistem
referensi koordinat, dan sistem proyeksi.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Ayat
(3) . . . - 11 -
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal
28
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “daerah terlarang” adalah daerah yang oleh instansi yang
berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
29
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “kawasan” adalah kawasan milik Instansi Pemerintah, Pemerintah
daerah, atau setiap orang.
Yang
dimaksud dengan “penguasa” adalah Instansi Pemerintah, Pemerintah daerah, atau
setiap orang yang menguasai kawasan tersebut.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “membahayakan” adalah suatu kondisi bahaya yang disepakati
antara pemilik, penguasa, atau penerima manfaat dari kawasan dengan pengumpul
data.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
30
Cukup
jelas.
Pasal
31 . . . - 12 -
Pasal 31
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “bersifat bebas dan terbuka” adalah bahwa perangkat lunak yang
gratis atau tidak perlu membayar untuk mendapatkannya, dan pengguna dapat
melakukan modifikasi perangkat lunak tersebut.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
32
Cukup
jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “sistem proyeksi” adalah sistem penggambaran muka bumi yang
tidak beraturan secara matematis pada bidang datar.
Yang
dimaksud dengan “sistem koordinat standar nasional” adalah suatu sistem yang
menjadi standar nasional dalam menentukan posisi suatu objek secara unik di
muka bumi.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “format” adalah cara penyimpanan data secara digital, misalnya
dalam format SHP, DXF, dan JPEG.
Yang
dimaksud dengan “basis data” adalah sistem penyimpanan data yang terstruktur
pada media digital.
Yang
dimaksud dengan “metadata” adalah data yang menjelaskan riwayat dan
karakteristik DG dan IG.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
35
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “tabel informasi berkoordinat” adalah kumpulan satu atau lebih
koordinat beserta informasi yang melekat pada koordinat tersebut.
Huruf
b . . . - 13 -
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “peta cetak” adalah informasi geospasial yang disajikan pada
sebuah lembaran kertas dengan ukuran dan skala tertentu yang disajikan menurut
kaidah kartografis.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “peta digital” adalah peta dalam format digital tertentu yang
dapat diakses dengan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak tertentu.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “peta interaktif” adalah peta digital yang memberikan fasilitas
interaksi antara pengguna dan peta tersebut.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan “peta multimedia” adalah peta digital yang dilengkapi dengan
fasilitas media rupa rungu (audio visual).
Huruf
f
Yang
dimaksud dengan “bola dunia” adalah penyajian informasi geospasial pada sebuah
objek berbentuk bola. Istilah “bola dunia” juga dikenal dengan globe.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan “model tiga dimensi” adalah penyajian informasi geospasial yang
menampilkan relief atau ketinggian dari permukaan bumi.
Pasal
36
Yang
dimaksud dengan “tingkat ketelitian sumber data” adalah tingkat kedetailan
sumber data yang masih dapat dibaca dengan jelas dan ukuran kedekatan nilai
dalam data tersebut terhadap nilai sebenarnya.
Pasal
37
Yang
dimaksud dengan “penyimpanan” adalah cara menyimpan, sehingga mudah dicari,
diambil, dan digunakan.
Yang
dimaksud dengan “pengamanan” adalah cara menyimpan, sehingga tidak mudah rusak,
tidak mudah hilang, dan tidak mudah diambil dengan cara tidak sah.
Pasal
38
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2) . . . - 14 -
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “media penyimpanan elektronik” adalah media yang hanya dapat
digunakan dengan perangkat elektronik, baik media lepas, contoh kaset, disket,
dan DVD, maupun dalam jaringan komputer.
Yang
dimaksud dengan “media penyimpanan cetak” adalah media yang dapat digunakan
langsung oleh manusia secara visual, contoh pada kertas atau media transparan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
39
Cukup
jelas.
Pasal
40
Cukup
jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas.
Pasal
42
Yang
dimaksud dengan “bersifat terbuka” adalah bahwa IGD dapat diakses dan dapat
diperoleh oleh setiap orang.
Pasal
43
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “bersifat tertutup” adalah IGT tertentu yang dikecualikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keterbukaan
informasi publik.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “jaringan IG“ adalah suatu sistem penyelenggaraan pengelolaan
IG secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan serta
berdaya guna.
Yang
. . . - 15 -
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan IG secara
elektronik” adalah IG disebarluaskan secara digital melalui jaringan internet
atau berupa data pada media penyimpanan elektronik seperti kaset, disket, dan
DVD.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
46
Yang
dimaksud dengan “memiliki kekuatan hukum” adalah berlaku sah dan mengikat.
Yang
dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah pejabat yang terkait dengan IG
sesuai dengan tugas dan kewenangannya, misalnya IGT kawasan hutan produksi
disahkan oleh Menteri Kehutanan atau pejabat yang dikuasakannya.
Pasal
47
Cukup
jelas.
Pasal
48
Cukup
jelas.
Pasal
49
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “kualitas” adalah tingkat ketepatan, kerincian, kemutakhiran,
dan kelengkapan informasi.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “riwayat data” adalah informasi mengenai proses pengumpulan dan
pengolahan data.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “IG yang tidak berkualitas” adalah tidak tepat, tidak rinci,
tidak mutakhir, dan/atau tidak lengkapnya IG sehingga tidak memenuhi kebutuhan
pengguna IG tertentu.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
50 . . . - 16 -
Pasal 50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal
54
Cukup
jelas.
Pasal
55
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “kualifikasi kompetensi” adalah keahlian atau kemampuan yang
diperlukan sebagai pelaksana IG.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
56
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “sertifikasi dilakukan oleh lembaga independen” adalah adanya
suatu lembaga yang bertindak secara mandiri dalam menilai pihak yang akan
disertifikasi.
Yang
dimaksud dengan “akreditasi dari Badan” adalah pengakuan Badan atas kemampuan
dan independensi dari lembaga sertifikasi itu.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal
57 . . . - 17 -
Pasal 57
Cukup
jelas.
Pasal
58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Cukup
jelas.
Pasal
60
Cukup
jelas.
Pasal
61
Cukup
jelas.
Pasal
62
Cukup
jelas.
Pasal
63
Cukup
jelas.
Pasal
64
Cukup
jelas.
Pasal
65
Cukup
jelas.
Pasal
66
Cukup
jelas.
Pasal
67
Cukup
jelas.
Pasal
68
Cukup
jelas.
Pasal
69
Cukup
jelas.
Pasal
70
Cukup
jelas.
Pasal
71
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5214
0 komentar:
Posting Komentar