Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) merupakan organisasi militer Belanda yang bertugas di Hindia Belanda. Cikal bakalnya adalah Oost-Indische Leger
(Tentara Hindia-Timur) yang dibentuk Gubernur Jenderal van den Bosch
pada 4 Desember 1830. Itu berarti tepat setelah perang Diponegoro usai.
Pada tahun 1933, namanya diubah menjadi KNIL.
Personil KNIL terdiri dari prajurit
bayaran atau sewaan. Kebanyakan berasal dari Perancis, Jerman, Belgia,
dan Swiss. Undang-undang Belanda memang tidak mengijinkan wajib militer
dari warga negaranya untuk ditempatkan di daerah jajahan. Selain itu,
ada pula yang direkrut KNIL dari bekas tentara Belanda yang di negaranya
melakukan pelanggaran atau disersi. Karena pelanggaran atau disersi,
mereka ini diberikan opsi untuk masuk KNIL, atau dihukum.
Tidak hanya orang Eropa saja, ternyata
banyak orang pribumi yang juga direkrut KNIL. Tercatat pada tahun 1936,
jumlah pribumi yang menjadi prajurit KNIL mencapai 33 ribu orang atau
sekitar 71%. Tapi, tak banyak pribumi yang menjadi perwira. Kebanyakan
ya jadi prajurit biasa. Jadi ternyata, ketika berhadapan dengan rakyat,
maka kebanyakan prajurit pribumi pula yang berada di garis depan. Kalau
sekarang ada tentara yang masih suka menakut-nakuti rakyat dengan
atribut kemiliteran mereka, ya tak usah heran, karakter KNIL-nya masih
belum hilang. Mungkin. Hehe.
Beberapa prajurit KNIL dari kalangan
pribumi yang di kemudian hari ikut mewarnai sejarah Indonesia
diantaranya, Mangkunegara VII, Sultan Hamid II, Oerip Soemohardjo, Alex
Kawilarang, Abdul Haris Nasution, Gatot Soebroto, T.B. Simatupang, dan
Suharto.
Di sini saya tak hendak menguraikan
sejarah KNIL, sepak terjang, dan kekejamannya di Indonesia, sebelum dan
sesudah kemerdekaan. Kita cuplik penggalannya saja, dan pastinya, hanya
karena terkait dengan Garoet.
Begini. Berdasarkan pengalaman selama
menghadapi berbagai peperangan, pada tahun 1908, atas inisiatif Komando
Angkatan Darat KNIL, mulai diuji coba seragam lapangan baru. Batalyon
Infantri ke-10 di Batavia mulai mencoba pakaian lapangan dengan berbagai
warna. Tapi, pada tahun 1910 dibuat keputusan untuk memperkenalkan
seragam lapangan yang terbuat dari bahan katun tebal berwarna
abu-abu-hijau (Grijs-Groen Katoenen), yang di kemudian hari disebut sebagai katun garoet.
Bahan kain seragam itu awalnya didatangkan dari Twente, Belanda. Alasan
perubahan menjadi warna abu-abu-hijau itu karena kebanyakan laskar
pribumi yang melawan mereka selama ini mengenakan pakaian gelap seperti
pula yang dikenakan prajurit KNIL, yang berwarna biru gelap (Donkerblauw Uniform).
Pada tahun 1911, seragam lengkap yang disebut sebagai Grijs-Groen Katoenen Jas Model 1911 secara resmi diperkenalkan. Seragam ini ditujukan sebagai seragam lapangan. Untuk keperluan upacara masih digunakan Donkerblauw Uniform.
Beberapa saat setelah pengenalan Grijs-Groen Katoenen Jas Model 1911
itu, Perang Dunia Pertama mulai berkecamuk, dan pengaruhnya terasa pada
pengadaan bahan kain seragam. Katun abu-abu hijau saat itu diimpor dari
Belanda dan transportasi laut sangat langka. Sebagai jalan keluar, KNIL
mengimpor dalam jumlah besar kapas abu-abu hijau berkualitas buruk dari
Jepang. Kapas ini ternyata setelah dicuci jadi luntur.
Ketika perang telah berakhir, katun abu-abu-hijau bisa diimpor lagi dari Twente.
Pada tahun 1926, produksi kapas abu-abu
hijau juga dimulai di Hindia-Belanda, tepatnya di Cirebon. Tujuannya
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan kapas abu-abu hijau di
Hindia-Belanda. Dengan produksi dalam negeri ini, maka dapat menghemat
pengeluaran seiring terjadinya penurunan ekonomi (malaise) pada waktu itu. Industri tekstil Hindia-Belanda ini dapat memenuhi total permintaan KNIL pada tahun 1934.
Dengan ketersediaan bahan seragam yang melimpah dan cukup berkualitas maka seragam KNIL didesain ulang. Grijs-Groen Katoenen Jas Model 1911 akhirnya dapat digunakan juga sebagai seragam upacara, menghapuskan Donkerblauw Uniform.
Pada tahun 1936, pabrik tenun di Garoet mulai memproduksi grijs-groen katoenen dengan kualitas yang lebih baik. Katun ini disebut sebagai garoet-B. Satu-satunya pabrik tenun di Garoet saat itu adalah Preanger Bont Weverij (PBW) atau yang dikenal kemudian sebagai Pabrik Tenun Garut (PTG).
Nah, meskipun tidak diproduksi di Garoet,
ternyata semua katun abu-abu hijau yang diproduksi di Hindia-Belanda
tahun 1926-1936 kemudian sering disebut sebagai jenis garoet-A. Dengan kata lain, orang Belanda menamakan grijs-groen katoenen itu sebagai jenis katun garoet (garoet-stof), ada jenis garoet A dan garoet B. Sangat mungkin penamaan grijs-groen katoenen ini sebagai katun garoet disebabkan katun produksi Garoet ini adalah jenis yang terbaik.
KNIL dibubarkan pada tanggal 20 Juli
1950, menyusul ditandatanganinya Konperensi Meja Bundar (KMB) pada
tanggal 27 Desember 1949. Dengan pembubaran KNIL ini maka jelas pasar grijs-groen katoenen
dari PTG menjadi berkurang. Saya tidak tahu apakah jenis kain tersebut
selanjutnya masih diproduksi PTG atau tidak. Yang jelas, PTG sendiri
tidak berproduksi lagi sejak tahun 1985.
Dan sekarang, kita bisa mencatat, dua warisan sejarah Garoet telah hilang sekaligus: kain grijs-groen katoenen alias katun garoet, dan bangunan PTG itu sendiri, yang tak disisakan sedikit pun, seluruhnya dihancurkan untuk kepentingan pembangunan Mall Garut.
Sumber
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar