Tahun 1924 di Mataram, HOS Tjokroaminoto yang kemudian kita kenal
sebagai salah seorang pendiri dan sekaligus ketua Sarekat Islam (SI)
menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Buku tersebut ditulis oleh Tjokro,
di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan
ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang
digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar
Indonesia, di antaranya sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan
liberalisme.
HOS Tjokroaminoto sebagai intelektual dengan ghirah ke-Islaman yang
tinggi ingin menjawab salah satu ide dari paham-paham tersebut terutama
sosialisme yang lebih mendapat tempat di hati rakyat Indonesia. Mereka
menganggap sosialisme punya misi kuat untuk kepentingan rakyat, terutama
kaum buruh, petani dan kelas pekerja lainnya.
Karena itu, ia menawarkan sebuah gagasan sosialisme Islam. Tapi
Tjokro sadar bahwa realisasi dari gagasan ini di tingkat praksis akan
menemui kesulitan, mengingat rakyat dihadapkan pada pemilihan ideologi
yang ideal. Apalagi pada saat itu sudah berkembang ideologi sosialisme
dan komunisme yang dianggap lebih cocern terhadap kaum mustadh’afin.
“Islam dan Sosialisme” sendiri memuat beberapa pembahasan. Pembahasan
menyangkut kaitan sosialisme dengan Islam, kehidupan bangsa Arab pra
Islam (sebelum Nabi), misi Nabi Muhammad yang bersifat sosialis, sikap
sosialis sahabat-sahabat Muhammad. Prototipe sosialisme ala Islam,
imperialisme muslim, agama dan sosialisme, pengelolaan pemerintahan
secara sosialis juga menjadi pembahasan dari buku tersebut.
Dalam buku tersebut HOS Tjokroaminoto memulai tulisannya dengan
sebuah pertanyaan apakah sosialisme Islam itu. Menurutnya, sosialisme
Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat
Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang
berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Lebih jauh dia menjelaskan,
“Cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya
dan tidak boleh dikatakan terbit daripada pengaruhnya bangsa Eropah.
..azas-azas sosialisme itu telah dikenal di dalam pergaulan hidup Islam
pada zamannya Nabi kita, Muhammad SAW.”
Menurut Tjokro, Islam secara tegas melarang (mengharamkan) riba
(woeker) dan dengan begitu Islam menentang keras kapitalisme. “Menghisap
keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaannya lain
orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang mestinya (dengan
seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan
keuntungan itu, –semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut
memakan keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih) adalah dilarang dengan
sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan
“riba” belaka,” tulisnya.
Penolakan Islam terhadap kapitalisme jelas terlihat dalam konsep
dasar muamalah Islam, di mana Islam mengingatkan akan celaka orang yang
mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Jadi dalam sistem muamalah Islam,
praktek yang mengarah pada penimbunan atau penumpukan modal dan barang
adalah dilarang. Demikian juga Islam melarang praktek riba karena
dianggap benih kapitalisme atau meer warde dalam konsep Marx
Menurut HOS Tjokroaminoto, dasar sosialisme yang diajarkan Nabi
Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal ini tampak dalam
pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham sosialisme ada 3
anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan
(gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity).
Nilai sosialisme dalam Islam, lanjutnya, terlihat dari misi yang
disandang Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi
sejatinya orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih
dalam niat dan perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi,
menjunjung nilai-nilai luhur, bukan hanya pada ideologi atau agamanya
saja tapi pada kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi
pada makhluk lainnya juga. Dengan demikian tidak ada lagi perusakan baik
di daratan maupun lautan, tidak ada lagi eksploitasi terhadap binatang,
tumbuhan dan alam lainnya.
Dalam pandangan Tjokro, keunggulan (sosialisme) Nabi bukan hanya
karena ia selalu di bimbing wahyu dalam kehidupannya, tetapi juga karena
dalam setiap tindakannya ia selalu menjadi orang pertama yang
memperjuangkan liberalisasi dan menegakkan keadilan. Dalam hal ini, ia
bukan hanya seorang pemikir saja akan tetapi ia ikut terjun di tengah
umat.
Sikap inilah sebetulnya yang harus dijadikan acuan. Umat Islam harus
mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai
kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi mengatakan, “Tentang
budak-budakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan
berilah pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri.
Apabila kamu tidak dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan
kesalahan, lepaskan mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga,
dan kamu harus berlaku baik-baik kepada mereka.”
Lalu azas apakah sebetulnya yang menuntun Muhammad hingga gigih
memperjuangkan nilai-nilai sosialis-humanis? Dalam bukunya, Tjokro
mengemukakan, azas itu tidak lain adalah “sebesar-besarnya keselamatan
hendaknya menjadi bahagiannya sebanyak-banyaknya manusia, dan
keperluannya seseorang hendaknya bertakluk kepada keperluannya orang
banyak”
Melalui buku “Islam dan Sosialisme” itu pulalah, Ketua SI ini
menuturkan sebuah tamsil tentang sosialisme Islami. Ia kemudian
mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai satu kebun bernama Fidak.
Setelah Nabi wafat, Fatimah, puterinya, menuntut pengembalian kebun itu
kepadanya atas dasar hak-turunan.
Tetapi Khalifah Abu Bakar menolak tuntutan Fatimah, dengan alasan
bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai kekayaan dengan hak bagi dirinya
sendiri. Karena itu, segala sesuatu yang ditinggalkan Nabi harus menjadi
kepunyaan orang banyak. Akhirnya kebun itu menjadi milik orang banyak.
Kritik atas Sosialisme Islam ala Tjokro
“Sosialisme Islam” HOS Tjokroaminoto belum menyentuh essensi al-Quran
tentang kaum mustadhafin, hanya kulit luarnya saja, dan seringkali
dianggap parsial sehingga tidak tuntas. Lebih dari itu, beberapa fakta
yang diketengahkan dalam buku tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Hal ini bisa jadi disebabakan oleh terlalu kerasnya
Tjokro dalam memperjuangkan gagasan sosialisme Islam. sementara realitas
sosial waktu itu mungkin tidak memberi tempat kepadanya untuk lebih
menelaah lebih jauh konsep Quran dan pengalaman sejarah Islam tentang
pemberdayan mustadlafin.
Kelemahan lain bisa dilacak dari gagasan sosialisme Islam-nya yang
tidak dihubungkan dengan surat al-Humazah: (l) “Celakalah (azablah)
untuk tiap-tiap pengumpat dan pencela (2) Yang menumpuk harta benda dan
menghitung-hitungnya”. Demikian juga sosialisme Islam ala Tjokro tidak
dihubungkan dengan surat al-Qashash: 5: “Dan kami hendak memberi karunia
kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhu’afa) di bumi
dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang
yang mewarisi bumi”.
Intelektual Dawan Rahardjo bisa memaklumi kelemahan-kelemahan gagasan
Tjokro, mengingat tokoh utama SI yang dikenal berperilaku shaleh ini
belum mempelajari Islam secara mendalam. Menurut Dawam, buku “Islam dan
Sosialisme” hanyalah merupakan kajian awal. Tujuan Tjokro sendiri ketika
menggagas sosialisme Islam di samping untuk menguak sosialisme Islam
juga untuk menandingi ideologi sosialisme yang terlanjur mendapat tempat
di hati rakyat.
Secara umum, Dawam menganggap gagasan sosialisme Islam memang sulit
dikembangkan termasuk gagasan Tjokroaminoto sendiri. “Kesulitan untuk
berbicara apalagi mengembangkan teori sosialis, sekalipun berdasarkan
Islam, adalah kenyataan bahwa gerakan politik, organisasi sosial dan
kegiatan dakwah Islam di Indonesia, dari segi finansial, didukung oleh
pengusaha dan pedagang yang beraspirasi ingin bisa meningkatkan skala
ekonomi mereka. Dalam proses peningkatan itu mereka mengharapkan
perangsang-perangsang moneter, fiskal dan institusional dalam kerangka
sistem kapitalis yang berlaku,” demikian tulis Dawam.
Upaya merealisasikan gagasan sosialisme Islam ala Tjokro semakin
sulit mengingat kondisi politik yang berkembang pada dekade tahun
1930-an mengalami perubahan. “Dalam dasawarsa 1930-an,” kata Dawam
Rahardjo, “pergerakan tidak berbicara lagi mengenai sosialisme. Buku
Tjokro gagal mengajak golongan terpelajar muslim, baik yang bergabung
dalam Jong Islamisten Bond, maupun Studenten Islam Studieclub yang
berdiri pada tahun 1936 untuk menggali ajaran sosial Islam dalam
kerangka sosialisme.”
Kalau di tingkat realisasi gagasan, Tjokro kurang berhasil maka
begitu pula dalam menjalankan kepemimpinan dalam tubuh SI. Menurut
Dawam, Tjokro terlalu menekankan persatuan dan ingin menjadi pemimpin
yang bisa berdiri di atas semua golongan. Tapi akibat sikapnya ini,
Tjokro tidak berani menyingkirkan kubu komunis dalam SI.
Baru ketika Tjokro berada dalam tahanan, karena peristiwa Garut, duet
kepimpinan Agus Salim – Abdul Muis, yang menguasai persidangan Kongres
Nasional VI SI di Surabaya, berhasil melaksanakan tindakan disiplin
partai kepada golongan komunis. Kubu komunis (dikenal dengan sebutan
kubu merah) berhasil disingkirkan sekalipun mereka telah mendapat
dukungan kuat dari cabang-cabang Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan
Bandung. (Dawan Rahardjo: Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa, Mizan, Bandung, 1993).
Terlambatkah gagasan sosialisme Islam ini? Pengamat sosial keagamaan,
Kuntowijoyo, melalui tulisannya “SI dan Pembaruan Pemikiran Islam”
(Kompas, 7/6/95) mengatakan, kalau SI telah mengadakan pembaruan
pemikiran dengan menawarkan ideologi sosialisme Islam, lalu dengan
konsep apakah umat Islam di abad ke-21 ketika dihadapkan pada dunia
industrialisasi?
Problem itu dimunculkan oleh Kuntowijoyo, karena pada awal Abad XX,
ketika menghadapi kebangkitan kaum buruh, SI telah menghasilkan
pembaruan pemikiran dengan ideologi sosialisme Islam. Waktu itu Islam
keluar dari sejarah “alamiah” dan mencoba “merekayasa” sejarah, tetapi
rupanya kurang berhasil. Dengan misi sosialisme-nya, SI memang punya
komitmen kuat untuk memperjuangkan kepentingan “wong cilik” dan kaum
buruh.
Tapi peran SI dalam memperjuangkan misinya dianggap too late and too
little. SI kalah duluan dari marxisme dan kurang memuaskan kaum buruh
yang sudah kehilangan kepercayaan pada kebaikan hati perseorangan. Yang
mereka kehendaki adalah “kebaikan hati kolektif.”
Terlepas dari keterlambatan SI dalam mengambil peran itu, yang jelas
dalam pandangan Kuntowijoyo, problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini
berbeda dengan yang dihadapi SI. Karena itu, pembaharuan pemikiran
tidak lagi berkutat pada kerangka ideologis. Menghadapai abad XXI, pola
berpikir ideologis harus diganti dengan pola berpikir ilmu. Solusi ini
masih mengundang tanda tanya; benarkah akan demikian?
Kesimpulan
Berpijak pada analisa Dawam Rahardjo bahwa kesulitan dalam
mengembangkan teori sosialis, karena yang mendukung gerakan politik,
organisasi sosial dan kegiatan dakwah adalah pengusaha dan pedagang yang
kapitalis, maka bisa dipahami jika hingga kini belum ada tokoh yang
memunculkan partai sosialis yang berdasarkan Islam.
Jadi, sekali lagi, belum adanya tokoh Islam yang memunculkan partai
sosialis berdasarkan Islam adalah karena ideologi yang akan memberikan
dukungan finansial padanya nanti, bukan dari yang berideologi sosialis
Islam, melainkan dari yang berideologi kapitalis. Disinilah tidak
tepatnya Kuntowijoyo yang menyimpulkan perjuangan ideologi, dianggapnya
sudah berakhir memasuki abad ke-21. buktinya pertarungan atas nama
ideologi masih kental dalam kehidupan politik dan ekonomi.
Sumber: Muslim Net
Sumber: Muslim Net
0 komentar:
Posting Komentar