Oleh : Muhammad Kasman
“Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan itu ada naik dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju kearah cita-cita.” Suara Sukarno terdengar lantang pagi itu.
Jumat 17 Agustus 1945, jam menunjukkan waktu pukul 09.56, dengan didampingi oleh Mohammad Hatta, Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dalam kondisi alat pengeras suara yang rusak akibat kabelnya terinjak-injak oleh massa yang berjubel.
“Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.” Demikian bilang Sukarno pula.
Nama Sukarno memang lekat dengan proklamasi, namun ada nama lain yang patut diingat terkait kemerdekaan: Tjoroaminoto. Membincang kemerdekaan tanpa menyebut Tjokroaminoto, adalah kenaifan. Sebab Tjokroaminoto dan Sukarno, dengan peranannya masing-masing, bertaut erat dengan ihwal kemerdekaan.
Hubungan keduanya, pun unik. Disamping keselarasan ide pasal kemerdekaan, mereka adalah guru dan murid, sekaligus mertua dan anak menantu. Istri pertama Sukarno –Siti Oetari, adalah putri Tjokroaminoto.
Jauh hari setelah kemerdekaan, Sukarno tak pernah melupakan gurunya. Dia mengakui bahwa ide kemerdekaan yang kemudian bisa diwujudkannya melalui proklamasi, adalah buah perjuangan Tjokroaminoto.
“Pemikiran awal yang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya…” Demikian daku Sukarno yang pernah mondok di rumah Tjokroaminoto di Surabaya selama enam tahun. Kedekatan inillah yang membentuk nasionalisme Sukarno.
Dua orang penulis Soviet, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam Soekarno: Biografi Politik (2009), mengakui bahwa Tjokroaminoto telah menjadi ideal bagi pemuda soekarno, bahkan rumah Tjokroaminoto di gang Peneleh disebutnya sebagai universitas politik bagi kaum pergerakan.
Ide kemerdekaan pun demikian adanya, diserap Sukarno dari Tjokroaminoto. Bersama dengan kawan kost-nya, Semaun dan Sekarmadji, Sukarno membangun imaji tentang kemerdekaan di bawah bimbingan Tjokroaminoto yang gencar menyuarakan itu.
Seperti pada tahun 1916, dihadapan peserta Kongres Sarekat Islam, Tjokroaminoto berpidato lantang, “Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri… Supaya Hindia lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur)…”
Namun dari ketiga muridnya yang terkenal, Semaun yang memilih komunisme, Sekarmadji yang menganut Islamisme serta Sukarno yang mengusung nasionalisme, Tjokroaminoto lebih percaya bahwa Sukarnolah yang mewarisi ide-ide besar dan jalan perjuangannya.
Maka kepada keluarganya, Tjokroaminoto berpesan, “Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinya tempat berteduh di rumahku.” Tulis Cindy Adams dalam Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat (Edisi Revisi, 2007).
Pula, bukan sebuah kebetulan Sukarno dititipkan di rumah Tjokroaminoto, “Nak, aku telah merencanakan langkah ini begitu kau dilahirkan ke dunia. Semua telah diaturnya dan engkau akan tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.” Terang Raden Soekemi, ayah Sukarno, ketika melepas anaknya ke Surabaya.
Perhatian khusus Tjokroaminoto terhadap Sukarno juga terlihat pada tahun 1919. Sewaktu, hujan abu vulkanik mengepung Blitar, saat itu Sukarno sedang berlibur ke sana. Karena khawatir, dengan mengabaikan keselamatannya, seorang diri Tjokroaminoto mengendarai mobilnya dari Surabaya ke Blitar.
Semua itu dilakukan seorang Tjokroaminoto, hanya untuk memastikan si murid kesayangan, Sukarno, selamat dari bencana yang menimpa Blitar. Demikian perhatiannya Tjokroaminoto kepada Sukarno, begitu pula perhatian Sukarno pada guru dan mertuanya.
Ketika mengetahui mertuanya digiring tentara Belanda ke tahanan pada sebuah tengah malam di akhir Agustus 1921, Soekarno meninggalkan kuliahnya di Bandung dan kembali ke Surabaya. “Saya harus berbakti kepada orang yang saya puja,” demikian alasan Sukarno.
“Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku”, “Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut” dan “Cerminku adalah Tjokroaminoto” Pengakuan Sukarno pada Cindy Adams ini menunjukkan betapa Tjokroaminoto begitu mempengaruhi Sukarno.
Salah satu pemikiran Tjokroaminoto yang demikian memengaruhi Sukarno adalah soal persatuan bangsa. Sebab Tjokroaminoto yakin, begitupun Sukarno, bahwa persatuanlah pondasi kemerdekaan dan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
Tjokroaminoto menyeru, “Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita. …dan meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintahan kita.”.
Maka Sukarno pun menyahuti seruan gurunya dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, “Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!”.
Saat Sukarno memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini pada 17 Agustus 1945, Tjokroaminoto memang telah marhum sebelas tahun sebelumnya –17 desember 1934, namun Sukarno mengabadikan ide persatuan ini dalam sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar