Ketahanan Pangan Vs Sapi Australia

Jakarta - Suka atau tidak, ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait dengan ketahanan pangan suatu bangsa. Jadi jangan heran kalau di Indonesia ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas, kedelai dan sebagainya yang sulit dipisahkan dengan politik.


Jangan heran jika untuk urusan ketersediaan pangan para politisi bersaing dengan para pedagang dan pencari rente untuk menjadi pengimpor, bukan pembudi daya sapi.
Tidak berkembangnya budi daya sapi potong dan sapi perah selama ini kemungkinan akibat ketidak seriusan pemerintah di bidang ini dan efektifnya lobi negara penghasil sapi, seperti Australia agar sebagian kebutuhan daging sapi Indonesia selalu bergantung pada sapi impor dari mereka. Mengapa kita harus bergantung pada daging sapi? Bukankah daging domba atau kambing, kerbau, unggas dan sebagainya bisa digunakan sebagai pengganti daging sapi impor tersebut?

Di sini terlihat bahwa negara lain berusaha menguasai ketahanan pangan Republik ini karena secara ekonomi sangat menguntungkan. Demi ketahanan pangan, diversifikasi daging sapi seharusnya disuarakan dengan lantang dan terus menerus oleh pemerintah untuk melawan upaya mafia impor sapi dan pedagang daging sapi beku, khususnya dari Australia. Namun tampaknya pemerintah memang tidak ingin bersusah payah memikirkan ketahanan pangan sektor daging sapi.

Ini terlihat dari ketidakseriusan pemerintah dalam membuat kebijakan publik terkait dengan ketahanan pangan daging sapi dan juga komoditas pangan lainnya, seperti beras dsb. Contohnya, tidak kondusifnya kebijakan perkreditan bagi peternak. Sampai hari ini sapi belum dapat dianggap sebagai aset, sehingga peternak tidak dapat menggunakan sapinya sebagai agunan saat mengajukan kredit ke perbankan.

Jika kebijakan ini belum diubah, maka peternak sapi Indonesia akan terus kesulitan mencari modal untuk pengembangan peternakan sapi potongnya. Pemain impor daging sapi beku maupun impor sapi selain pemain lama yang menguasai kartel impor, saat ini telah muncul beberapa pemain baru yang terkait dengan aliran politik tertentu, seperti pernah diulas di majalah mingguan Tempo edisi 6 sampai dengan 12 Juni 2011. Mereka berkolusi dengan pedagang dan pemerintah negara pengekspor sapi.

Demi ketahanan pangan Indonesia, sudah saatnya pemerintah segera melakukan langkah-langkah konkret. Mulai dari perbaikan regulasi, evaluasi dan penataan rencana jangka pendek-menengah-panjang swasembada sapi potong, dan kesiapan sumber daya manusia sektor peternakan.

Peran Pemerintah Vs Pedagang

Indonesia katanya sudah mempunyai road map peningkatan swasembada sejumlah komoditas yang terkait dengan ketahanan pangan, seperti beras, gula, jagung, kedelai dan daging sapi. Namun jika sebuah road map hanya parkir di tingkat elite pengambil keputusan tanpa disosialisasikan ke publik, maka sebuah road map hanya akan menjadi wacana saja. Tidak lebih.

Penulis sampai hari ini juga belum melihat langkah-langkah kementerian terkait mengimplementasikannya, khususnya sapi potong. Semua masih jalan seperti business as usual. Buat apa mengembangkan sapi potong di Indonesia yang penuh lika liku premanisme dan pada akhirnya tidak menguntungkan secara bisnis. Lebih mudah dan lebih untung kalau impor saja.

Selain itu peran lobbyist peternak sapi Australia maupun negara lain ke pemerintah Indonesia juga sangat efektif. Lobi ini biasanya di-bundling (dipaketkan) dengan berbagai program kemanusiaan/sosial, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Sehingga menyulitkan Pemerintah ketika akan melakukan perlawanan di meja perundingan maupun di media. Munculnya video penyiksaan sapi di rumah pemotongan hewan (RPH) baru-baru ini, patut diduga salah satunya tidak terlepas dari keinginan pemerintah Australia yang pernah disampaikan ke Komisi IV DPR-RI sekitar 6 bulan yang lalu.

Mereka meminta supaya sapi bakalan dari Australia tidak dibatasi beratnya maksimal 350 kg/sapi, tetapi dibebaskan. Untuk mereka untung tetapi buat Indonesia rugi, karena harga sapinya menjadi lebih mahal. Makanya Komisi IV DPR menolak permohonan itu.

Dari segi kebijakan, selain persoalan sapi belum bisa dianggap sebagai aset, ternyata kebijakan impor daging yang berada di Kementerian Perdagangan bukan Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan juga membingungkan. Kementerian Pertanian hanya merekomendasikan berapa volume daging yang harus diimpor, operasional impornya oleh Kementerian Perdagangan. Maka jadilah sapi menjadi komoditi perdagangan bukan komoditi budidaya untuk ketahanan pangan.

Kebijakan impor sapi betina unggul juga sangat menyulitkan peta ketahan pangan dan peternak lokal kita. Patut diduga ini merupakan karya pelobi ulung Australia lainnya yang berhasil mempengaruhi pengambil keputusan di Jakarta. Tujuannya jelas, supaya Indonesia terus mengimpor sapi dari Australia. Kalaupun ada betina unggul yang diimpor, itu hanya beberapa saja dari yang kita pesan. Sisanya tidak unggul karena patut diduga ovariumnya sudah dirusak atau dipotong.

Jadi maksimal hanya bisa melahirkan 1 pedet atau anak sapi saja. Jadi siapa sebenarnya yang tidak punya peri kebinatangan? Selain itu data impor sapi selama ini tidak jelas. Apakah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) atau mafia pengimpor sapi atau dari langit ketujuh? Di pasaran sering ditemukan daging impor harganya lebih murah dari harga daging lokal. Jadi ketidak jelasan ini memang ada yang melakukannya. Gila betul demi ketahan pangan bangsa ini, pemerintah mau menjadi bulan-bulanan seperti ini.

Langkah Pemerintah

Sekali lagi, mohon maaf Pak SBY, bangsa ini perlu ketegasan Bapak dalam menangani persoalan ketahan pangan terkait dengan kebutuhan daging sapi. Jangan hanya memohon atau mengemis ke Pemerintah Australia dan curhat ke kami rakyat ini. Tekan Pemerintah Australia dan 230 juta rakyat ada di belakang Pak SBY.

Katakan jika Australia melakukan berbagai ancaman terkait animal welfare seperti yang ditayangkan di Channel News Asia tempo hari dan tidak mau bekerja sama sebagai dua negara sahabat, Pemerintah Indonesia akan menghentikan impor sapi dari Australia. Liputan itu patut diduga rekayasa mereka. Coba tanyakan berapa si pemotong yang menendang-nendang itu dibayar?

Yakinkan pada rakyat bahwa kita tidak akan mati jika tidak makan daging sapi karena negara kita masih punya banyak protein hewani lainnya. Yakinkan pada rakyat bahwa negara lain seperti India tidak makan daging sapi juga hidup dan lebih cerdas otaknya. Yakinkan bangsa ini bahwa makan daging sapi lokal dan dombrut (domba Garut) lebih sehat dan cocok buat bangsa ini. Jangan mengemis Pak, ke Pemerintah Australia karena yang mereka lakukan itu perbuatan sengaja untuk menekan kita. Salam.

*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.

0 komentar: