UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... . TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA  
NOMOR  3  TAHUN  2009.... .  
TENTANG  
PERUBAHAN KEDUA ATAS 
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985  
TENTANG MAHKAMAH AGUNG 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan 
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan 
guna menegakkan hukum dan keadilan yang 
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan 
peradilan yang berada di bawahnya dalam 
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan 
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah 
Mahkamah Konstitusi; 
  b. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah 
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, 
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan 
kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan 
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
  c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 
dimaksud dalam huruf a dan  huruf b, perlu 
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan 
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 
tentang Mahkamah Agung; 

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24A, Pasal 24B, dan     
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang 
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) 
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas 
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang 
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 2004  Nomor 9, Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359); 
  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang 
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 2004  Nomor 8, Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358); 
Dengan Persetujuan Bersama  
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA  
dan  
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA  
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA 
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 
TENTANG  MAHKAMAH AGUNG. 
Pasal I 
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran 
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, 
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia    

Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas 
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang 
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara 
Republik Indonesia Nomor 4359), diubah sebagai 
berikut: 
1. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 2 (dua) 
pasal, yakni Pasal 6A dan Pasal 6B yang berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 6A 
Hakim agung harus memiliki integritas dan 
kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan 
berpengalaman di bidang hukum. 
Pasal 6B 
(1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier. 
(2) Selain calon hakim agung sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), calon  hakim agung juga 
berasal dari nonkarier. 
  
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
  
Pasal 7 
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon 
hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
6B harus memenuhi syarat: 

a. hakim karier: 
1. warga negara Indonesia; 
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
3. berijazah magister di bidang hukum  dengan 
dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang 
mempunyai keahlian di bidang hukum;   
4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh 
lima) tahun; 
5. mampu secara rohani dan jasmani untuk 
menjalankan tugas dan kewajiban;  
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) 
tahun menjadi hakim, termasuk paling 
sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; 
dan 
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian 
sementara akibat melakukan pelanggaran kode 
etik dan/atau pedoman perilaku hakim.   
b. nonkarier: 
1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada 
huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan   
angka 5; 
2. berpengalaman dalam profesi hukum 
dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 
(dua puluh) tahun; 
3. berijazah doktor dan magister di bidang 
hukum dengan dasar sarjana hukum atau 
sarjana lain yang mempunyai keahlian di 
bidang hukum; dan 
4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara 
berdasarkan putusan pengadilan yang telah 
memperoleh kekuatan hukum tetap karena 
melakukan tindak pidana  yang diancam 
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau 
lebih. 
            

3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 8 
(1) Hakim agung ditetapkan oleh Presiden dari nama 
calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan 
Rakyat. 
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 
dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi 
Yudisial.  
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi 
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) 
orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap 
lowongan.   
(4) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana 
dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 
30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak 
tanggal nama calon diterima Dewan  Perwakilan 
Rakyat. 
(5) Pengajuan calon hakim agung oleh Dewan 
Perwakilan Rakyat kepada Presiden sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 
14 (empat belas) hari sidang terhitung sejak 
tanggal nama calon disetujui dalam Rapat 
Paripurna. 
(6) Presiden menetapkan hakim agung dari nama 
calon yang diajukan  oleh Dewan Perwakilan 
Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) 
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung 
sejak tanggal pengajuan nama calon diterima 
Presiden. 

(7) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih 
dari dan oleh hakim agung dan ditetapkan oleh 
Presiden.  
(8) Ketua Muda Mahkamah Agung ditetapkan oleh 
Presiden di antara hakim agung yang diajukan 
oleh Ketua Mahkamah Agung.
(9) Keputusan Presiden mengenai penetapan Ketua, 
Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua Muda 
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada 
ayat (7) dan ayat (8) dilakukan paling lama 14 
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal 
pengajuan nama calon diterima Presiden.
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 9 
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua atau 
Wakil Ketua Mahkamah Agung mengucapkan 
sumpah atau janji menurut agamanya yang 
berbunyi sebagai berikut:  
- Sumpah Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah 
Agung: 
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya 
akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil 
Ketua Mahkamah Agung dengan sebaikbaiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh 
Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan 
segala peraturan perundang-undangan 
dengan selurus-lurusnya menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan 
bangsa”.  

- Janji Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah 
Agung: 
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguhsungguh akan memenuhi kewajiban Ketua 
atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan 
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang 
teguh Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945, dan 
menjalankan segala peraturan perundangundangan dengan selurus-lurusnya menurut 
Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada 
nusa dan bangsa”. 
(2) Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan 
Presiden. 
(3) Sebelum memangku jabatannya, hakim agung 
atau Ketua Muda Mahkamah Agung diambil 
sumpah atau janji menurut agamanya, yang 
berbunyi sebagai berikut:  
- Sumpah hakim agung atau Ketua Muda 
Mahkamah Agung: 
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya 
akan memenuhi kewajiban hakim agung atau 
Ketua Muda Mahkamah Agung dengan 
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang 
teguh Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945, dan 
menjalankan segala peraturan perundangundangan dengan selurus-lurusnya menurut 
Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada 
nusa dan bangsa”.  

- Janji hakim agung atau Ketua Muda 
Mahkamah Agung:  
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguhsungguh akan memenuhi kewajiban hakim 
agung atau Ketua Muda Mahkamah Agung 
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, 
memegang teguh Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan 
menjalankan segala peraturan perundangundangan dengan selurus-lurusnya menurut 
Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada 
nusa dan bangsa”. 
(4) Pengambilan sumpah atau janji sebagaimana 
dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Ketua 
Mahkamah Agung.  
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 11  
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, 
dan hakim agung diberhentikan dengan hormat dari 
jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah 
Agung karena:   
a. meninggal dunia; 
b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; 
c. atas permintaan sendiri secara tertulis; 
d. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus 
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang 
dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau 
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan 
tugasnya. 

6. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 11A, yang berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 11A 
(1) Hakim agung hanya dapat diberhentikan tidak 
dengan hormat dalam masa jabatannya apabila: 
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak 
pidana kejahatan berdasarkan putusan 
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 
hukum tetap; 
b. melakukan perbuatan tercela; 
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan 
tugas pekerjaannya terus-menerus selama    
3 (tiga) bulan;  
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;  
e. melanggar  larangan  sebagaimana  
dimaksud  dalam Pasal 10; atau 
f. melanggar kode etik dan/atau pedoman 
perilaku hakim.  
(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua 
Mahkamah Agung kepada Presiden. 
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh 
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial. 
(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan 
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung. 
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh 
Komisi Yudisial. 

(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi 
Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena 
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), 
ayat (4), dan ayat (5), hakim agung mempunyai 
hak untuk membela diri di hadapan Majelis 
Kehormatan Hakim. 
(7) Majelis Kehormatan Hakim dibentuk oleh 
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial  paling 
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak 
tanggal diterimanya usul pemberhentian. 
(8) Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim terdiri 
atas: 
a. 3 (tiga) orang hakim agung; dan 
b. 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial. 
(9) Majelis Kehormatan Hakim melakukan 
pemeriksaan usul pemberhentian paling lama 14 
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal 
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim. 
(10) Dalam hal pembelaan diri sebagaimana 
dimaksud pada ayat (6) ditolak, Majelis 
Kehormatan Hakim  menyampaikan keputusan 
usul pemberhentian kepada Ketua Mahkamah 
Agung dan Komisi Yudisial paling lama 7 (tujuh) 
hari kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan 
selesai. 
(11) Ketua Mahkamah Agung menyampaikan usul 
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada 
ayat (10) kepada Presiden paling lama 14 (empat 
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal 
diterimanya keputusan usul pemberhentian dari 
Majelis Kehormatan Hakim. 

(12) Keputusan Presiden mengenai pemberhentian 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan      
ayat (11) ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) 
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya 
usul pemberhentian dari Ketua Mahkamah 
Agung. 
(13) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, 
tata kerja, dan tata cara pengambilan keputusan 
Majelis Kehormatan Hakim diatur bersama oleh 
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. 
7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 12        
(1) Dalam hal Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda 
Mahkamah Agung yang diberhentikan dengan 
hormat dari jabatannya sebagai Ketua, Wakil 
Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung 
karena alasan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 11 huruf c, tidak dengan sendirinya 
berhenti dari jabatan sebagai hakim agung. 
(2) Dalam hal hakim agung yang diberhentikan 
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 11A menduduki jabatan sebagai 
Ketua, Wakil Ketua, atau Ketua Muda 
Mahkamah Agung, dengan sendirinya berhenti 
dari jabatan sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan 
Ketua Muda Mahkamah Agung. 
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 

Pasal 13 
Hakim agung sebelum diberhentikan tidak dengan 
hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A dan 
Pasal 12 ayat (2) dapat diberhentikan sementara dari 
jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah 
Agung. 
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 20 
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera 
Mahkamah Agung, seorang calon harus 
memenuhi syarat: 
a. warga negara Indonesia;  
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;  
c. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain 
yang mempunyai keahlian di bidang hukum; 
dan  
d. berpengalaman  sekurang-kurangnya 2 (dua) 
tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah 
Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua 
pengadilan tingkat  banding. 
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda 
Mahkamah Agung, seorang calon harus 
memenuhi syarat:  
a. sesuai dengan ketentuan sebagaimana 
dimaksud pada      ayat (1) huruf a, huruf b, 
dan huruf c; dan  
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) 
tahun sebagai hakim tinggi.  
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera 
Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon 
harus memenuhi syarat:  

a. sesuai dengan ketentuan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan 
huruf c; dan 
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 
(sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan 
tingkat pertama. 
10. Pasal 31 ayat (5) di hapus. 
     
11. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 31A 
(1) Permohonan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang diajukan langsung oleh 
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah 
Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa 
Indonesia. 
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada     
ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang 
menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya 
peraturan perundang-undangan di bawah 
undang-undang, yaitu: 
a. perorangan warga negara Indonesia;  
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang 
masih hidup dan sesuai dengan 
perkembangan masyarakat dan prinsip 
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang 
diatur dalam undang-undang; atau 
c. badan hukum publik atau badan hukum 
privat.  

(3) Permohonan sekurang-kurangnya harus 
memuat: 
a. nama dan alamat pemohon; 
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar 
permohonan dan menguraikan dengan jelas 
bahwa: 
1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau 
bagian peraturan perundang-undangan di 
bawah undang-undang dianggap 
bertentangan dengan peraturan 
perundang-undangan yang lebih tinggi; 
dan/atau 
2. pembentukan peraturan perundangundangan tidak memenuhi ketentuan 
yang berlaku; dan  
c. hal-hal yang diminta untuk diputus. 
(4) Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung 
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung 
sejak tanggal diterimanya permohonan. 
(5) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa 
pemohon atau permohonannya tidak memenuhi 
syarat, amar putusan menyatakan permohonan 
tidak diterima. 
(6) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa 
permohonan beralasan, amar putusan 
menyatakan permohonan dikabulkan. 
(7) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (6), amar putusan 
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, 
pasal, dan/atau bagian  dari peraturan 
perundang-undangan di bawah undang-undang 
yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 

(8) Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan 
permohonan sebagaimana dimaksud pada     
ayat (7) harus dimuat dalam Berita Negara atau 
Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari 
kerja terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. 
(9) Dalam hal peraturan perundang-undangan di 
bawah undang-undang tidak bertentangan 
dengan peraturan perundang-undangan yang 
lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam 
pembentukannya, amar putusan menyatakan 
permohonan ditolak. 
(10) Ketentuan mengenai tata cara pengujian 
peraturan perundang-undangan di bawah 
undang-undang diatur dengan Peraturan 
Mahkamah Agung. 
12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut: 
Pasal 32 
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan 
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan 
pada semua badan peradilan yang berada di 
bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan 
kehakiman. 
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), Mahkamah Agung melakukan 
pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas 
administrasi dan keuangan.    
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta 
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan 
dengan teknis peradilan dari semua badan 
peradilan yang berada di bawahnya. 
(4)  Mahkamah . . . - 16 - 
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, 
teguran, atau peringatan kepada pengadilan di 
semua badan peradilan yang berada di 
bawahnya. 
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan 
ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan 
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. 
13. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 2 (dua) 
pasal, yakni Pasal 32A dan Pasal 32B, yang berbunyi
sebagai berikut: 
Pasal 32A 
(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim 
agung dilakukan oleh Mahkamah Agung. 
(2) Pengawasan eksternal atas perilaku hakim
agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.      
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada      
ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada kode 
etik dan pedoman perilaku hakim. 
(4) Kode etik dan pedoman perilaku hakim 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan 
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. 
Pasal 32B 
Mahkamah Agung harus memberikan akses kepada 
masyarakat untuk mendapatkan informasi 
mengenai:  
a. putusan Mahkamah Agung; dan/atau 
b. biaya dalam proses pengadilan. 
14. Pasal 38 dihapus.  

15. Ketentuan Pasal 80C diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 80C 
Jabatan kepaniteraan Mahkamah Agung harus 
disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini 
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini 
diundangkan.
16. Di antara ketentuan Pasal 80C dan Pasal 81 
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80D yang 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 80D 
Sebelum kode etik dan pedoman perilaku hakim 
dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini, kode etik 
dan pedoman perilaku hakim yang sudah ada 
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak 
bertentangan dengan Undang-Undang ini.    
17. Ketentuan Pasal 81A diubah sehingga berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 81A 
(1) Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada 
mata anggaran tersendiri dalam anggaran 
pendapatan dan belanja negara.  
(2) Dalam  mata anggaran sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1), tidak termasuk biaya kepaniteraan 
dan biaya proses penyelesaian perkara perdata, 
baik di lingkungan peradilan umum, peradilan 
agama, maupun penyelesaian perkara tata usaha 
negara.  

(3) Untuk penyelesaian perkara perdata dan perkara 
tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2), biaya kepaniteraan dan biaya proses 
penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak 
atau para pihak yang berperkara.  
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan 
pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan.  
(5) Mahkamah Agung berwenang menetapkan dan
membebankan biaya proses penyelesaian 
perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3).  
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas 
anggaran dan biaya sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) diperiksa oleh 
Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan.  
        
18. Di antara Pasal 81A dan Pasal 82 disisipkan 2 (dua)
pasal, yakni Pasal 81B dan Pasal 81C yang berbunyi 
sebagai berikut: 
Pasal 81B 
Kode etik dan pedoman perilaku hakim harus sudah 
ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak UndangUndang ini diundangkan. 
Pasal 81C 
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus 
telah ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak 
Undang-Undang ini diundangkan.  
Pasal II 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 12 Januari 2009 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
        ttd. 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal  
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
ANDI MATTALATTA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 3 
Salinan sesuai dengan aslinya 
SEKRETARIAT NEGARA RI 
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, 
Wisnu Setiawan PENJELASAN 
ATAS 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA  
NOMOR  3  TAHUN  2009 ........ 
TENTANG  
PERUBAHAN KEDUA ATAS  
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985  
TENTANG MAHKAMAH AGUNG 
I. UMUM 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam 
Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan 
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna 
menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah salah 
satu pelaku kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan 
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, 
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha 
negara. 
Undang-Undang ini adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang 
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan dilakukan karena UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut 
pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan 
hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua 
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh  karena itu, 
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan 
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan 
agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata 
usaha . . . - 2 - 
usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya 
lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan 
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B 
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi 
Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan 
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan 
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena 
itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi 
kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi 
kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh 
Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, 
dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan 
Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk 
hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja 
sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. 
II. PASAL DEMI PASAL 
Pasal I 
Angka 1 
Pasal 6A 
Cukup jelas. 
Pasal 6B 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang 
berasal dari hakim karier” adalah calon hakim 
agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada 
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah 
Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung. 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang 
juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim 
agung yang berasal dari luar lingkungan badan 
peradilan. 
Angka 2 . . . - 3 - 
Angka 2 
Pasal 7 
Huruf a  
angka 1 
Cukup jelas. 
angka 2 
Cukup jelas. 
angka 3 
Yang dimaksud dengan “magister di bidang 
hukum” adalah gelar akademis pada tingkat 
strata 2 dalam bidang ilmu hukum, termasuk 
magister ilmu syari’ah atau magister ilmu 
kepolisian. 
angka 4 
Cukup jelas. 
angka 5 
Cukup jelas. 
angka 6 
Cukup jelas. 
angka 7 
Cukup jelas. 
Huruf b 
angka 1 
Cukup jelas. 
angka 2 
Yang dimaksud dengan “profesi hukum” 
adalah bidang pekerjaan seseorang yang 
dilandasi pendidikan keahlian di bidang 
hukum atau perundang-undangan, antara 
lain, advokat, penasihat hukum, notaris, 
penegak hukum, akademisi dalam bidang 
hukum, dan pegawai yang berkecimpung di 
bidang hukum atau peraturan perundangundangan.   
angka 3 . . . - 4 - 
angka 3 
Cukup jelas. 
angka 4 
Cukup jelas. 
Angka 3 
Pasal 8 
Cukup jelas. 
Angka 4 
Pasal 9 
Cukup jelas. 
Angka 5 
Pasal 11 
Cukup jelas. 
Angka 6 
Pasal 11A 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan 
tercela" adalah apabila hakim agung yang 
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan 
tindakannya baik di dalam maupun di luar 
pengadilan merendahkan martabat hakim 
agung. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Cukup jelas. 
Huruf f 
Cukup jelas. 
Ayat (2) . . . - 5 - 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Ayat (7) 
Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim yang 
dimaksud dalam ketentuan ini bersifat  ad hoc
(kasus per kasus). 
Ayat (8) 
Cukup jelas. 
Ayat (9) 
Cukup jelas.  
Ayat (10) 
Cukup jelas.  
Ayat (11) 
Cukup jelas.  
Ayat (12) 
Cukup jelas. 
Ayat (13) 
Cukup jelas. 
Angka 7 
Pasal 12 
Cukup jelas. 
Angka 8 
Pasal 13 
Cukup jelas. 
Angka 9 . . . - 6 - 
Angka 9 
Pasal 20 
Cukup jelas. 
Angka 10 
Cukup jelas. 
Angka 11 
Pasal 31A 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Huruf a 
Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah 
orang perseorangan atau kelompok orang yang 
mempunyai kepentingan sama. 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Ayat (7) 
Cukup jelas. 
Ayat (8) 
Cukup jelas. 
Ayat (9) 
Cukup jelas. 
Ayat (10) . . . - 7 - 
Ayat (10) 
Cukup jelas. 
Angka 12 
Pasal 32 
Cukup jelas. 
Angka 13 
Pasal 32A 
Ayat (1) 
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim 
agung masih diperlukan meskipun sudah ada 
pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi 
Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan 
lebih komprehensif sehingga diharapkan 
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku 
hakim betul-betul dapat terjaga.   
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Pasal 32B 
Akses kepada masyarakat dimaksudkan untuk 
mendapatkan putusan Mahkamah Agung diberikan 
melalui Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik 
Indonesia (SIMARI). 
Angka 14 
Cukup jelas. 
Angka 15 
Pasal 80C 
Cukup jelas. 
Angka 16 . . . - 8 - 
Angka 16 
Pasal 80D 
Cukup jelas. 
Angka 17 
Pasal 81A 
Ayat (1) 
Berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung 
menyusun kegiatan dan anggaran tahunan, 
termasuk anggaran untuk penyelenggaraan tugas 
kepaniteraan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Angka 18 
Pasal 81B 
Cukup jelas. 
Pasal 81C 
Cukup jelas. 
Pasal II 
Cukup jelas. 
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4958  

0 komentar: