Biografi SM Kartosoewirjo

Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.Profil Singkat Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosoewirjo
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, "Sumpah Pemuda".
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur --atau "kabur" dalam istilah orang-orang DI-- ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna "hijrah" itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang tegang." Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah "pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan "pemberontakan" yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid Kartosoewirjo.
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya". (QS. 2:154).
(Al Chaidar, penulis buku Kartosoewirjo)
2. Sumber :http://serbasejarah.files.wordpress.com/2010/01/negaraislamindonesia_faktasejarahdanperkembangannya.pdf
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada tanggal 7 Januari 1907
di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi
daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada
kantor yang mengoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan,
dekat Rembang. Pada masa itu, mantri candu sederajat dengan jabatan
Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai
kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu dan
menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis
sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini
hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya
"gerakan pencerahan Indonesia" ketika itulah, Kartosoewirjo dibesarkan dan
berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai
dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga
mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana
kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya
mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia
mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun
1950-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki
yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 1920-an, ketika di
Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.1
Pada tahun 1911, saat para aktivis di negeri ini mendirikan organisasi,
saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Inlandsche School der
Tweede Klasse (ISTK) atau Sekolah "Kelas Dua" untuk Kaum Bumiputera di
Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke Hollandsch-
Inlandsche School (HIS) di Rembang. Tahun 1919, ketika orang tuanya
pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah
Europeesche Lagere School (ELS). Bagi seorang putra pribumi, HIS dan
ELS merupakan sekolah elit. Karena kecerdasan dan bakat khusus yang
1 Al-Chaidar, “Siapa S.M. Kartosoewirjo?”, (http://www.hidayatullah.com/sahid/9905/sejarah.html).
dimilikinya, Kartosoewirjo dapat masuk sekolah yang direncanakan sebagai
lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-
Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan
pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi
guru agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti
Muhammadiyah. Notodihardjo kemudian menanamkan banyak aspek
kemodernan Islam ke dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiranpemikirannya
sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap
dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa
kita sebut sebagai the formative age-nya. 2
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo
pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen
School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah
inilah, tepatnya pada tahun 1926, ia terlibat dengan banyak aktivitas
organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah, Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiranpemikiran
Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius hingga kemudian begitu
"terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded.
Semua aktivitasnya dilakukan hanya untuk mempelajari Islam semata dan
berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas
kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku
dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan
politik.3
Dengan modal ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia pun
memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar
Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak
memengaruhi sikap, tindakan, dan orientasi Kartosuwirjo. Maka, setahun
kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik,
dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh
dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang
cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat belajar tersebut tidak berani
menuduh Kartosoewirjo sebagai orang yang terasuki ilmu-ilmu Islam,
melainkan dituduh komunis, karena ideologi ini sering dipandang sebagai
paham yang membahayakan. Padahal, ideologi Islamlah yang sangat
berbahaya bagi penguasa saat itu. Tidaklah mengherankan, selanjutnya
Kartosuwirjo tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik
sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Dalam berbagai literatur
berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing, ia digambarkan sebagai
seorang ulama besar di Asia Tenggara.
Kartosoewirjo memulai karir politiknya di kota Surabaya dengan
bergabung ke dalam organisasi pemuda Jong Java. Ia merupakan murid dari
H.O.S. Tjokroaminoto, yang kala itu juga menjadi guru dari Musso dan
Soekarno. Perbedaan jelas tampak dari ketiga tokoh yang merupakan anak
didik dari Trjokroaminoto tersebut. Soekarno adalah tokoh nasionalis yang
akhirnya menjadi pemimpin pertama negara ini, sedangkan Musso dan
Kartosoewirjo adalah dua nama yang pada masa awal pemerintahan
Soekarno dianggap sebagai pemberontak. Perbedaannya adalah, Musso
beraliran komunis, sementara Kartosoewirjo berniat mendirikan negara
berasaskan syari’at Islam.4
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di
antaranya gerakan pemuda Jong Java tersebut. Kemudian, pada tahun
1925, ia termasuk ke dalam anggota-anggota Jong Java yang
mengutamakan cita-cita keislamannya dan akhirnya mendirikan Jong
Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena
sikap pemihakan kepada agamanya. Dua organisasi inilah yang kemudian
membawa dirinya menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang
amat berpengaruh dalam kebangkitan pemuda Indonesia, "Sumpah
Pemuda".
Selain bertugas sebagai Sekretaris Umum Partij Sjarikat Islam Hindia
Timur (PSIHT), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar
4 Lubis, Muhammad Ridwan, Pemikiran Sukarno tentang Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), hlm.
86.
harian Fadjar Asia. Semula ia bekerja sebagai korektor, kemudian diangkat
menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda, sekitar
22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi Redaktur Harian Fadjar Asia. Dalam
kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah ia menerbitkan berbagai artikel yang
isinya dipenuhi banyak kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun
penjajah Belanda.
Dalam perjalanan tugasnya ke Malangbong, ia bertemu dengan
pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di
sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum, putri Ajengan
Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929.
Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang
terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya
pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam
kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo
kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia bergabung dengan
sebuah organisasi kesejahteraan Madjlis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI) di
bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis
Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali
lembaga shuffah yang pernah dia bentuk. Namun, kali ini lebih banyak
memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka
pendidikan militernya. Kemudian, siswa yang menerima latihan kemiliteran di
institut shuffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam
yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi
inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang
di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta.
Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia
mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat
Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Berdasarkan
beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan
kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasinya ditarik
Mahatma Hadhi, Rizky Argama, Shinta Rishanty, Taufik Hidayat
Mei 2005
12
kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada republik
dan menerima proklamasi tersebut.
Namun, sejak kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus
1945, kaum nasionalislah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan
berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap
sekuler oleh kalangan nasionalis Islam. Semenjak itu, kalangan nasionalis
Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan
nasionalis Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan
serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”.
Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan
negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dianggap sebagai
pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi
dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan
Belanda. Perjanjian tersebut berisi antara lain, gencatan senjata dan
pengakuan garis demarkasi van Mook. Artinya, Pemerintah RI harus
mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan itu merupakan pil pahit
bagi republik ini. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan RI di
daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan
semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan
ini, tentara RI di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuanketentuannya.
Presiden RI saat itu, Soekarno menyebut "mundurnya" TNI ini
dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Namun, sebaliknya, pasukan
gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua
organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan
Sabilillah menganggap diri mereka lebih tahu apa makna "hijrah" itu.
Pada tahun 1949, Indonesia mengalami suatu perubahan politik
besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan,
maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara,
sebuah negeri Al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal
sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia
yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah
Indonesia sering disebut para pengamat sebagai "Islam yang muncul dalam
wajah tegang." Bahkan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah
“pemberontakan”.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus
setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal
16 Agustus 1962, menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam
menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan".
Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo.
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, tidak banyak sumber yang
memaparkan informasinya secara jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga
letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius.