Islam dan Sosialisme ; HOS Tjokroaminoto

    1. “Bagi kita, orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa “isme” lain-lainnya, yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itulah saja” (HOS Tjokroaminoto)

Tahun 1924 di Mataram, HOS Tjokroaminoto seorang pendiri dan sekaligus ketua Sarekat Islam (SI) menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Buku tersebut ditulis oleh Tjokro, di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan liberalisme.
Buku Tjokroaminoto ini diterbitkan kembali oleh penerbit TriDe tahun 2003, yang meskipun merupakan pikiran lama, tetapi menjadi penting bagi generasi muda sekarang untuk memberikan inspirasi bagi pemikiran-pemikiran kedepan, pemikiran-pemikiran mendasar, untuk membangun fondasi kokoh bagi kemajuan Indonesia. Memuat tentang pemahaman arti sosialisme, sosialisme dalam Islam, sosialisme Nabi Muhammad serta sahabat-sahabat nabi yang berjiwa sosialis dan komparasi-komparasi sosialisme ala Barat dengan sosialisme ala Islam.
Diantara bab yang menarik untuk di bahas adalah “Sosialisme Dalam Islam” Bab I hal 24 – 41 (Penerbit TriDe). Berikut ini petikan dari Sosialisme dalam Islam :
Dasarnya Sosialisme Islam
“Kaanannasu ummatan wahidatan”
Peri-kemanusiaan adalah menjadi satu persatuan”, begitulah pengajaran di dalam Qur’an yang suci itu, yang menjadi pokoknya sosialisme. Kalau segenap peri-kemanusiaan kita anggap menjadi satu persatuan, tak boleh tidak wajiblah kita berusaha akan mencapai keselamatan bagi mereka semuanya.
Ada lagi satu sabda Allah di dalam Al Qur’an memerintahkan kepada kita, bahwa kita “harus membikin perdamaian (keselamatan) diantara kita”. Lebih jauh di dalam al Qur’an ada dinyatakan, bahwa “kita ini telah dijadikan dari seorang-orang laki-laki dan seorang-orang perempuan” dan “bahwa Tuhan telah memisah-misahkan kita menjadi golongan-golongan dan suku-suku, agar supaya kita mengetahui satu sama lain”.
Nabi kita Muhammad s.a.w. telah bersabda, bahwa “Tuhan telah menghilangkan kecongkakan dan kesombongan di atas asal turunan yang tinggi. Seorang Arab tidak mempunyai ketinggian atau kebesaran yang melebihi seorang asing, melainkan barang apa yang telah yakin bagi dia karena takut dan baktinya kepada Tuhan”. Bersabda pula Nabi kita s.a.w. bahwa “Allah itu hanyalah satu saja, dan asalnya sekalian manusia itu hanyalah satu, mereka ampunnya agama hanyalah satu juga”.
Berasalan sabda Tuhan dan sabda Nabi yang saya tirukan ini, maka nyatalah, bahwa sekalian anak Adam itu ialah anggotanya satu badan yang beraturan (organich lichaam), karena mereka itu telah dijadikan dari pada satu asal. Apabila salah satu anggotanya mendapat sakit, maka kesakitannya itu menjadikan rusak teraturnya segenap badan (organisme).
Barang apa yang telah saya uraikan ini, adalah saya pandang menjadi pokoknya sosialisme yang sejati, yaitu sosialisme cara Islam (bukan sosialisme cara Barat).
Akan menunjukkan, bahwa agama Islam itu sungguh-sungguh menuju perdamaian dan keselamatan, maka di dalam bab ini baiklah saya uraikan maknanya perkataan “Islam”. Adapun makna ini adalah empat rupa:
  1. Islam –menurut pokok kata “Aslama” –maknanya: menurut kepada Allah dan kepada utusannya dan kepada pemerintahan yang dijadikan dari pada umat Islam. (“Ya ayyuhalladzina amanu athi’ulloha wa’athi urrosula waulilamri minkum”)
  2. Islam –menurut pokok kata “Salima” –maknanya: selamat. Tegasnya: apabila orang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah agama Islam, maka tak boleh tidak ia akan mendapat keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat, karena orang Islam itu harus bertabi’at selamat, begitulah menurut hadist sabda Nabi kita yang suci Mohammad s.a.w.: “Afdhalul mukminina islaman man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi”, artinya: orang mukmin yang teranggap utama dalam pada menjalankan agama Islam, ialah mereka yang mempunyai tabi’at selamat yang menyelamatkan sekalian orang Islam, karena dari pada bicaranya dan tangannya.
  3. Islam, menurut pokok-kata “Salmi” –maknanya: rukun. Tegasnya: orang yang menjalankan agama Islam haruslah rukun. (An aqimuddina wala tatafarraq fiha”, artinya: Hendaklah (kamu) mendirikan agama (Islam) dan janganlah (kamu) sama berselisihan.
  4. Islam, menurut pokok-kata “Sulami”– maknanya: tangga, ialah tangga atau tingkat-tingkat untuk mencapai keluruhan dunia dan keluruhan akhirat. Jikalau orang Islam dengan sungguh-usngguh menjalankakn agamanya, maka tak boleh tidak mereka akan mencapai derajat yang tinggi sebagai yang telah di jalankan oleh khulafaurrasyidin.
Dasarnya Perintah-perintah Agama yang Bersifat Sosialistich
Dalam pada mengarangkan perintah-perintah yang berhubungan dengan jalannya ibadah, maka Nabi kita Muhammad s.a.w., ialah pengubah terbesar tentanghal-ikhwal pergaulan hidup manusia bersama (sociale Hervormer) yang terkenal oleh dunia, tiadalah melupakan asas-asas demokrasi tentang persamaan dan persaudaraan dan juga asas-asas sosialisme.
Menurut perintah-perintah agama yang telah ditetapkan oleh Nabi kita, maka sekalian orang Islam, kaya dan miskin, dari rupa-rupa bangsa dan warna kulit, pada tiap-tiap hari Jum’at haruslah datang berkumpul di dalam masjid dan menjalankan shalat dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun juga tentang tempat dan derajat, di bawah pimpinannya tiap-tiap orang yang dipilih di dalam perkumpulan itu. Dua kali dalam tiap-tiap tahun sekalian penduduknya satu kota atau tempat, datanglah berkumpul akan menjalankan shalat dan berjabatan tangan serta berangkul-rangkulan satu sama lain dengan rasa persaudaraannya. Dan akhirnya tiap-tiap orang Islam diwajibkan satu kali di dalam hidupnya akan mengunjungi Mekah pada waktu yang telah ditentukan, bersama dengan berpuluhdan beratus ribu saaudaranya Islam.
Di dalam kumpulan besar ini, beribuan mereka yang datang dari tempat yang dekat tempat yang jauh sama bertemuan disatu tempat pusat, semuanya sama berpakaian satu rupa yang sangat sederhana, buka kepala dan kaki telanjang, orang-orang yang tertinggi dan terendah derajatnya dari rupa-rupa negeri dan tempat, rupa-rupa pula bangsa dan warna kulitnya; kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini adalah satu pertunjukan sosialme cara Islam dan ialah contoh besar dari pada “persamaan” dan “persaudaraan”. Di dalam kumpulan ini tidak menampak perbedaan sedikitpun juga diantara seorang raja dengan hambanya. Hal inilah bukan saja menanam tetapi juga melakukan (mempraktekkan) perasaan, bahwa segala manusia itu termasuk bilangannya satu persatuan dan diwajibkan kepada mereka itu akan berlaku satu sama lain dengan persamaan yang sempurna sebagai anggota-anggotanya satu persaudaraan.
Kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini bukan saja menunjukkan persamaan harga dan persamaan derajat diantara orang dengan orang, tetapi juga menunjukkan persatuan maksud dan tujuan pada jalannya segenap peri-kemanusiaan. Berpuluh ribu orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda, datang di lautan pasir itu dengan segala kemudaratan di dalam perjalannya, hanyalah dengan satu maksud yaitu akan menunjukkan kehormatan dan kepujiannya kepada satu Allah, yang meskipun mereka bisa mendapatkan dimana-mana tempat dan pada tiap-tiap saat, tetapi kecintaan mereka kepada Allah itu diperumumkan di dalam satu kumpulan bersama-sama sebagai Tuhan mereka bersama, ialah Tuhan yang mencinta mereka semuanya –Rabbil ‘alamin. Cita-cita yang terlahir di dalam kumpulan besar ini ialah guna menunjukkan pada waktu yang bersama akan keadaan lahir yang membuktikan persaudaraan bersama dan rasa cinta-mencinta di dalam batin, agar supaya di dalam rohnya tiap-tiap orang Islam tertanamlah cita-cita bersal dari satu Tuhan dan cita-cita persaudaraan diantara manusia dengan manusia.
Sosialisme di dalam Islam bukan saja diajarkan sebagai teori, tetapi dilakukan (dipraktikkan) juga sebagai wajib.
Kedermawanan Cara Islam
Nabi kita menyuruh kita berlaku dermawan dengan asas-asas yang bersifat sosialis. Sedang Quran berulang-ulang menyatakan, bahwa memberi sedekah itu bukannya bersifat kebajikan, tetapi bersifat satu wajib yang keras dan tidak boleh dilalaikannya. Kecuali yang lain-lainnya, maka tentang pemberian sedekah itu Allah ta’ala ada bersabda di dalam Quran beginilah maksudnya:
“Kamu tidak pernah akan dapat mencapai keadilan, kecuali apabila kamu telah memberikan daripada apa yang kamu cintai; dan Tuhan mengetahui apa yang kamu berikan itu”.
Di satu tempat yang lain, Allah ta’ala bersabda di dalam Quran begini maksudnya:
“Barang siapa memberi sedekah dari pada kekayannya, guna membuat lebih suci dirinya. Dan tidak supaya kebajikannya akan diberi upahan. Tetapi barang siapa memberikan kekayannya untuk keperluan perkaranya dia punya Tuhan, yaitu Tuhan yang Maha luhur. Dan kemudiannya tidak boleh tidak dia akan bersenang dengan dia punya upahan”.
Masih ada lagi lain-lain perintah Tuhan yang mewajibkan kita memberi sedekah dari pada kekayaan kita. Satu dua sabda Nabi kita, yang menunjukkan sifat sosialis yang terkandung di dalam aturan pemberian sedekah, adalah seperti yang berikut:
“Sekalian makhluk Tuhan adalah Tuhan ampunnya keluarga dan ialah yang sangat berbakti (percaya) kepada Tuhan yaitu barang siapa berusaha berbuat sebanyak-banyaknya kebajikan kepada makhluk Tuhan”.

“Memberi sedekah adalah satu wajib bagi kamu. Sedekah hendaklah diberikan oleh orang kaya diberikan kepada orang miskin”.
“Siapakah yang sangat dikasihi oleh Tuhan? Yaitu barang siapa mendatangkan sebesar-besarnya kebaikan bagi makhluk Tuhan”.
Sepanjang pengetahuan saya, maka hanyalah Nabi kita itu saja pemberi wet yang telah menetapkan ukuran besar-kecilnya kedermawanan yang berupa sedekah. Sepanjang kemauan Islam maka sedekah ada dua macamnya, yaitu sedekah yang bergantung dari kemauannya pemberi, dan sedekah yang diwajibkan, ialah zakat namanya. Menurut perintah Tuhan di dalam Al Qur’an maka zakat haruslah diberikan kepada delapan golongan manusia: 1. Orang-orang fakir; 2. Orang-orang miskin; 3. ‘Amil, yaitu orang-orang yang diserahi pekerjaan mengumpulkan dan membagi zakat; 4. Mu’amalah kulubuhum (mereka yang hatinya harus dilembekkan akan menurut kepada agama Islam), yakni orang-orang yang meskipun sudah masuk agama Islam, tetapi kerajinannya kepada agama masih lembek, atau orang-orang ternama yang boleh melakukan pengaruh di atas masuknya lain-lain orang kepada agama Islam; 5. Buat membeli lepas orang-orang budak belian. 6. Orang-orang berhutang yang tidak berkuasa membayar hutang itu, yakni hutang untuk keperluan ke-islaman; 7. Orang-orang yang melakukan perbuatan untuk memajukan agama Tuhan dan 8. Orang-orang bepergian, yang tidak akan dapat menyampaikan maksud perginya kalau tidak dengan pertolongannya sesama orang Islam.
Adapun besarnya zakat adalah ditentukan sekian, sehingga apabila segenap peri-kemanusiaan menurut hukum Islam tentang zakat, ditambah pula dengan kedermawanan yang lain-lainnya sebagai yang dikehendaki oleh Islam, maka di dunia kita akan datanglah peri-keadaan sosialisme, peri-keadaan sama rata sama rasa, ialah peri-keadaan selamat.
Maksudnya melakukan perintah tentang kedermawanan di dalam wet Islam, ternyata ada tiga rupa, yang mana masing-masing sama mempunyai dasar sosialis.
  1. Akan membangun rasa ridha mengorbankan diri dan rasa melebihkan keperluan umum dari pada keperluan diri sendiri. “Lebih baik mati sendiri, tetapi janganlah membiarkan lain orang mati karena kelaparan”, –inilah rupanya yang telah menjadi pokoknya cita-cita.
  2. Akan membahagi kekayaan sama-rata di dalam dunia Islam. Dengan lantaran menjadikan peberian zakat sebagai salah satu rukun Islam, adalah dikehendaki; supaya umpamanya ada orang mendapat tinggalan warisan harta-benda yang besar, orang-orang yang miskin dan kekurangan akan mendapat bahagian dari pada kekayaan itu.
  3. Akan menuntun persaan orang, supaya tidak anggap kemiskinan itu satu kehinaan, supaya orang anggap kemiskinan itu ada lebih baik dari pada kejahatan. Sekalian orang suci dalam Islam sukalah menjadi miskin, sedang kita punya Nabi yang mulia itu sendiri telah berkata: “Kemiskinan itu menjadikan besar hati saya”. (Al Fakir fakhri).
  4. Dasar sosialistik yang tersebut ketiga ini perlu sekali ditanamkan dalam hati orang dalam pergaulan hidup bersama antara bangsa Arab pada zaman dulu, karena banyaklah diantara mereka yang congkak di atas asal-turunan dan peri-keadaan yang asal dari nenek moyangnya, tetapi lebih perlu pula sekarang ini ditanamkan dalam hatinya orang-orang bangsawan dan hartawan dalam pergaulan hidup bersama pada zaman sekarang.
Persaudaraan Islam
Islam adalah sebenar-benarnya satu agama yang bersifat demokratis dan telah menetapkan beberapa banyak hukum yang bersifat demokratis bagi orang-orang yang memluk dia. Islam menentukan persaudaraan yang harus dilakukan benar-benar diantara orang-orang Islam di negeri yang mana pun juga, baik yang berkulit merah ataupun berkulit kuning, berkulit putih atau hitam, yang kaya atau yang miskin. Persaudaraan Islam sangatlah elok dan indah sifatnya. Ia dapat menghilangkan permusuhan yang asal dari turun-turunan yang sudah berabad lamanya; orang asing dijadikannya sahabat karib dan persahabatannya itu lebih kuat dari pada perhubungan saudara yang asal dari darah.
Persaudaraan Islam sampai pada tingkat yang tinggi sekali, yaitu terbukti: sepeninggalnya Nabi Muhammad s.a.w. pimpinan Republik Arab tidak diberikan kepada kaluarganya yang terdekat dan tercinta, tetapi diberikan kepada salah seorang sahabtnya. Isalm telah menghapuskan perbdaan karena bangsa dan karena kulit sampai begitu luasnya, sehingga beberapa orang Abyssine yang “hitam kulitnya” telah menjadi pemimpin yang sangat terhotmat diantara orang-orang Islam, sedang tiga orang anggota yang sangat ternama dari pada pergaulan hidup Islam bersama –yaitu Hasan, Bilal dan Suhail masing-masing berasal dari Basrah, Habash, (Abyssine) dan Rum (Tuki di Azie) –ketiganya ini berbeda-beda juga warna kulitnya. Islam membunh perbedaan karena kaste dan karena klas begitu sempurna, sehingga orang-orang budak belian telah dijadikan komandan dari bala-tentara Islam memerintah di atas orang-orang dari asal turunan yang tinggi dan tinggi pula derajatnya. Perkawinan antara budak belian dengan orang merdeka yang ternama dirayakan dengan seharusnya, dan anak-anak yang terlahir dari pada mereka dihormat satu rupa juga sebagai anak-anak turunan bangsawan.
Hingga pada dewasa ini di tanah Arab adalah berlaku persamaan yang sempurna antara orang dengan orang, dan seorang penuntutn unta, seorang saudagar kaya dan seorang yang mempunyai tanah, makan dan minum dan hidup bersama-sama dengan tidak ada perbedaannya. Bahkan di Hindia, di dalam negeri Islam Bopal, orang-orang budak makan di meja bersama-sama dengan tuannya. Meskipun Nabi kta s.a.w. pada zamannya tidak atau tidak bisa menghapuskan aturan budak belian—(kaum miskin, kaum proletar, dalam abad ke 20 ini pun nasibnya tidak lebih baik dan tidak lebih menyenangkan dari pada nasibnya orang-orang budak belian di negeri Islam), tetapi Nabi kita, ialah Pengubah dunia yang terbesar, telah membeli tusukan yang terkeras kepada aturan budak belian, yaitu dengan lantaran derajatnya budak belian disamakannya dengan derajatnya orang merdeka. Diperintahkan oleh Nabi kita, supaya orang-orang budak belian diberi makanan satu rupa yang dimakan oleh tuannya, diberi pakaian satu rupa yang dipakai oleh tuannya. Orang merdeka diperkenankan berkawin sama budak belian, dan orang-orang bnudak belian mendapat persamaan hak dan persamaan perikeadaan dalam hukum dengan orang-orang merdeka.
Di Hindustan adalah beberapa raja pada dulu-kala yang asal turunan dari orang-orang budak belian. Diantara yang lain-lainnya, maka raja Kutubuddin yang ketika masih anak-anak menjadi budak belian, telah memerintahkan negeri yang amat besar dengan segala kebijaksanaan. Beberapa orang dari pada raja-raja yang tersebut itu, ialah pemimpin yagn sangat bijaknya dan mashur karena tinggi pelajarannya.
Menara Kutub Minar di kota Delhi (Hindustan), yang didirikan oleh raja yang pertama-tama asal budak belian di Hindustan pada permulaan abad yang ke 13, sekarang ini masih berdiri sebagai protes terhadap kepada pengarang-pengarang bangsa Eropa yang dengan buta-tulinya senantiasa membusuk-busukkan aturan budak belian Muslim. Kutub Minar itulah satu tanda peringatan yang gagah menunjukkan betapa besar jasanya Islam kepada orang-orang budak Islam.
Islam dan Anasir-anasir Sosialisme
Menurut pendapatan saya di dalam faham sosialisme adalah tiga anasir, yaitu: kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Ketiganya anasir ini adalah dimasukkan sebanyak-banyaknya di dalam peraturan-peraturan Islam dan di dalam perikatan hidup bersama yang telah dijadikan oleh Nabi kita yang suci Muhammad s.a.w.
a. Kemerdekaan
Tiap-tiap orang Islam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun juga, melainkan diwajibkan takut kepada Allah saja. “Lahaula wala kuwwata illa billah” (Tidak ada pertolongan dan kekuatan, melainkan dari pada Allah belaka). “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan sendiri yang kita mintai pertolongan).
Beberapa orang Arab, yang tidak biasa tinggal berumah yang tetap, belum pernah melihat rumah batu, yang dulu dengan pakaiannya yang buruk dikirmkan menghadap raja-raja Persi dan Roma yang berkuasa, meskipun raja-raja ini mempertunjukkan kekuasaan dan kebesarannya, orang-orang Arab tadi tiadalah menundukkan badannya dan kelihatan tidak bertakut sedikit pun juga di mukanya raja-raja tadi.
Sesungguhnya di dunia ini tidak ada barang sesuatu yang menakutkan mereka. Mereka merasa tidak menanggung jawab kepada apa pun juga, melainkan kepada mereka ampunya persaan batin sendiri, kepad mereka ampunya Allah yang Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Tinggi. Mereka itu merdekalah seperti hawa dan merasakan seluas-luasnya kemerdekaan yang orang dapat memikirkannya.
Quran yang suci menyatakan:
“Kemurahan, yang Tuhan akan mengaruniakan sebanyak-banyak kepada manusia, tiadalah dapat dicegahkan oleh siapa pun juga; barang apa yang Tuhan mempertegahkan, tiadalah dapat dikaruniakan kepada manusia kalau tidak dengan perantaraan Tuhan, dan Dialah yang kuasa dan berpengetahuan.” (Surah XXXV).
b. Persamaan
Tentang “persamaan” maka orang-orang Muslimin dalam zaman dulu bukan saja semua anggap dirinya sama, tetapi mereka semua anggap menjadi satu. Diantara orang-orang Muslimin tidak ada sesuatu perbedaan yang mana pun juga macamnya. Dalam pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak ada pula sebab-sebab yang boleh menimbulkan perbedaan klas. Tentang hal ini Khalifah Sayidina Umar r.a. adalah sangat kerasnya. Salah satu suratnya menceritakan satu perkara yang menunjukkan asas-asasnya dengan seterang-terangnya. Kecuali yang lain-lainnya maka ia telah menulis kepada Abu Ubaidah, yang salinannya kurang lebih begini:
    …Begitulah bicara saya disebabkan oleh Jabalah Ibn Ayhim dari suku bangsa Gassan, yang datang pad kita dengan sanak saudaranya dan kepala dari suku bangsanya, yang saya terima dan saya jamu dengan sepatutnya. Di muka saya mereka menyatakan pengakuan memeluk agama yang benar, sayapun bermuka-cita bahwa “Allah telah menguatkan agama yang hak dan bertambah banyak orang yang memeluknya, lantaran mereka itu datang masuk dan mengetahui apa yang ada di dalam rahasia. Kita bersama pergi ziarah ke Mekkah, dan Jabalah pergi mengelilingi ka’bah tujuh kali. Ketika ia pergi keliling, maka kejadianlah ada seorang laki-laki dari suku bangsa Fizarah menginjak dia punya vest hingga jatuh dari pundaknya. Jabalah membelukkan diri sambil berkata: “Celakalah kamu! Kamu telah menelanjangkan belakangku di dalam ka’bah yang suci”. Si penginjak bersumpah, bahwa ia berbuat yang demikian itu tidak dengan sengaja. Tetapi lalu dipukul oleh Jabalah, dipecahkan hidungnya dan dicabut empat giginya yang sebelah muka. Si miskin yang teraniaya segeralah datang pada saya dan mengadukan keberatannya sambil meminta pertolongan saya. Maka saya perintahkan membawa Jabalah di muka saya, dan saya tanya apakah yang menyebabkan padanya telah memukul saudaranya Islam dengan cara yang demikian ini, mencabut gigi dan memecahkan hidungnya. Ia pun menjawab, bahwa orang tadi telah menginjak vest dan menelanjangkan belakangnya, dengan ditambah perkataan: kalau tidak mengingat hormat yang ia harus tunjukkan kepada ka’bah yang suci, niscaya orang itu telah dibunuh olehnya. Saya pun menjawab, bahwa ia telah melahirkan pengakuan yang terang memberatkan dirinya sendiri; dan apabila orang yang menanggung kerugian itu tidak memberi ampun padanya, saya mesti menuntut perkara padanya selaku pembalasan. Ia menjawab, bahwa ia raja dan orang yang lainnya itu orang tani”. Saya menyatakan padanya, bahwa hal itu tidak dapat diperdulikan, mereka keduanya adalah orang Islam dan oleh karenanya mereka bersamaanlah adanya. Sesudahnya itu ia minta, supaya dia punya hukuman dipertangguhkan sampai keesokan harinya. Saya menanya kepada orang yang mendapat kerugian, apakah ia suka menunggu selama itu; iapun melahirkan mufakatnya. Tetapi pada waktu malam Jabalah dan teman-temannya sama melarikan dirinya”.
Gibbon, seorang pengarang riwayat bangsa Inggris yang terkenal namanya (meninggalkan dunia dalam tahun 1794) telah berkata yang salinannya kurang lebih begini:
    “Tetapi berjuta orang Afrika dan Asia yang sama berganti agama (memeluk agama Islam-pen) dan sama menguatkan tali ikatannya orang-orang Arab yang percaya (beragama Islam.—pen); mereka telah menyatakan kepercayaannya kepada satu Allah dan kepada utusan Allah, itulah niscaya dari sebab tertarik oleh barang yang indah, tetapi dari sebab dipaksanya. Dengan lantaran mengulangi ucapan satu kalimat dan kehilangan sepotong daging, maka orang hamba rakyat atau budak belian, orang hukuman atau penjahat, dalam sekejap mata berdirilah menjadi sahabat yang merdeka dan bersamaan derajatnya yang mengikat dipecahkan, sumpah tidak berkawin dihapuskan oleh pelajaran yang sesuai dengan keadaan ‘alam, kekuatan-kekuatan batin yang tidur di dalam gedung terungku menjadi bangunlah karena mendengar terompetnya orang-orang Arab, dan di dalam mengumpulkan dunia jadi satu, tiap-tiap anggotanya satu pergaulan hidup bersama yang baru itu naiklah sampai kepada muka yang dijadikan oleh ‘alam menurut dia punya kekuatan dan keberanian”. (Tidak dirintangi oleh wet-wet yang memperbedakan bangsa, klas atau warna kulit, seperti yang lumrahnya ada di dalam pergaulan hidup bersama yang bersifat kapitalistik ini. –pen).
Persamaan yang ‘adil serupa itu telah menyebabkan segenap umat Islam menjadi satu badan, satu nyawa. Cita-cita persamaan yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah seperti berikut:
“Segala orang Islam adalah sebagai satu orang. Apabila seorang-orang merasa sakit dikepalanya, seluruh badannya merasa sakit juga, dan kalau matanya sakit, segenap badannya pun merasa sakit juga”. “Segala orang Islam adalah sebagai satu bina-bina, beberapa bahagian menguatkan bahagian yang lain-lainnya, dengan laku yang demikian itu juga yang satu menguatkan yang lainnya”.
Orang Islam tidak memperkenankan juga orang-orang yang tidak Islam membuat perbedaan antara orang dengan orang. Apabila mereka menerima utusan-utusannya raja Kristen, dan ketika utusan itu menurut ‘adat kebiasaannya sendiri berjongkok di mukanya kepala-kepala Muslimin, maka kepala-kepala ini tidak meluluskan utusan tadi berjongkok, sebab mereka itu sama-sama makhluk Tuhan belaka.
c.Persaudaraan
Persaudaraan diantara orang-orang Islam satu sama lain adalah sangat bagusnya. Rasa cinta diantara mereka itu seperti rasa cinta diantara saudara yang sebenar-benarnya. Di dalam Quran ada sabda Tuhan, menyatakan bahwa Tuhan sendiri menaroh kecintaan dan rasa persaudaraan di dalam hatinya tiap-tiap orang Islam akan mencintai dan merasa bersaudara kepada sesama saudara Islam. “Dan Tuhan menaruh kecintaan di dalam hati mereka itu. Meskipun kamu (Muhammad) telah memberikan segala apa yang ada di dalam dunia, tiadalah kamu akan dapat menjadikan kecintaan di dalam hati mereka. Tetapi Tuhan telah menjadikan kecintaan diantara mereka itu”, begitulah sabda Tuhan di dalam Al Quran.
Adalah pula satu dua ayat di dalam Quran, yang maksudnya harus saya buka disini, seperti yang berikut:
“Peganglah kokoh tali Tuhan yang mengikat semuanya, janganlah menimbulkan percerai-beraian, dan ingatlah akan kemurahan Tuhan kepada kamu, ketika Tuhan menaruh kecintaan di dalam hatimu pada kalanya kamu bermusuhan satu sama lain, dan sekarang kamu menjadi saudara karena karunia Tuhan”.
Sabda Nabi kita tentang persaudaraan:
“Orang-orang Islam adalah saudara di dalam agama dan tidak boleh tindas-menindas satu sama lain, juga tidak boleh melalaikan tolong-menolong satu sama lain, juga tidak boleh hina menghina satu sama lain”.

“Barang siapa tidak bercinta kepada makhluk Tuhan dan kepada anak-anaknya sendiri, Tuhan tidak akan mencintai dia”.

“Tidak seorang mempunyai kepercayaan yang sempurna, sebelum ia mengharapkan bagi saudaranya barang apa yang dia mengharap bagi dirinya sendiri”.

Cita-cita persaudaraan yang disiarkan oleh Nabi kita muhammad s.a.w. adlah bagietu luasnya, sehingga Nabi kita telah minta kepada orang-orang yang mengikuti dia, hendaklah mereka berlaku di atas dia sebagai saudaranya sendiri.
Kekuatannya persaan sama-sama dan persaudaraan Islam adalah begitu besar, sehingga Faridduin Attar, seorang Sufi Islam besar, pada suatu waktu telah melahirkan pengharapannya begini: “Mudah-mudahanlah kesusahan sekalian orang ditarohkan di dalam hatiku, agar supaya sekalian mereka itu terhindar dari kesusahannya”.
Dengan sebenarnyalah Tuan M. A. Hamid Snow boleh berkata dengan suka citanya, kira-kira seperti berikut:
“Satu warnanya Islam yang nyata, ialah satu pelajaran yang menyatakan halnya persaudaraan dan Persamaan. Pada pintunya Islam, segala apa saja adalah terhindar dari pada bau-bau yang menunjukkan klas atau kecongkakan dalam pergaulan hidup bersama. “
Dengan sebenar-benarnyalah persaudaraan di dalam Islam adalah sesempurna-sempurnanya persaudaraan, baik didunia maupun persaudaraan di akherat.
Referensi : “Islam & Sosialisme”, HOS Tjokroaminoto, Penerbit TriDe, Yogyakarta, 2003

Sumber