UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk
beribadah menurut agamanya masing-masing;
b. bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh
setiap orang Islam yang mampu menunaikannya;
c. bahwa upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji
perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib,
dan lancar sesuai dengan tuntutan agama;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan ibadah Haji.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/199a tentang Pokokpokok
Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyclamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Ncgara
Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;
2. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia;
3. Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban bagi setiap
orang 1slam yang mampu menunaikannya;
4. Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan pelaksanaan ibadah haji;
a. ditingkat pusat oleh Menteri;
b. ditingkat daerah oleh gubernur/kepala daerah tingkat I untuk tingkat
propinsi dan bupati/walikotaniadya daerah tingkat II untuk tingkat
kabupate/kotamadya;
c. di Arab Saudi oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 8
(1) Menteri dapat membentuk panitia penyelenggara ibadah haji di tingkat pusat,
di tingkat daerah, dan di Arab Saudi sesuai dengan kebutuhan.
(2) Dalam rangka Penyelenggaraan ibadah haji, Menteri menunjuk petugas
operasional yang menyertai jumlah haji, yang terdiri atas:
a. Tim Pembimbing ibadah Haji Indonesia, yang disingkat TPIHI,
b. Tim Kesehatan Haji Indonesia, yang disingkat TKHI;
c. Tim Pemandu Haji Indonesia, yang disingkat TPHI
BAB IV
BIAYA PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Pasal 9
(1) Besarnya BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan
penyelenggaraan ibadah haji.
(3) Pengadministrasian BPIH diatur dengan keputusan Menteri.
Pasal 10
(1) Pembayaran BPIH dilakukan kepada rekening Menteri melalui bank-bank
pemerintah dan/atau bank swasta yang ditunjuk oleh Menteri setelah
mendapat pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Penerimaan pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan.
(3) Pengembalian BPIH diberikan kepada calon jemaah haji dalam hal:
a. meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah haji;
b. batasi keberangkatannya karena alasan kesehatan atau alasan lain yang
sah.
(4) Tata cava pengcinbalian dan jumlah BPIH yang dikemabalikan diatur melalui
keputusan Menteri.
Pasal 11
(1) Dalam rangka pengc1olaan Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 16 secara lebih berdaya guna dari berhasil guna untuk kemaslahatan
umat, Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang diketuai
oleh Menteri.
(2) Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana, yang keanggotaannya ditetapkan
oleh Presiden atas usul Menteri.
(3) Badan Pengelola Dana Abadi Umat mempunyai tugas pokok:
a. merencanakan, mengorganisasikan, mengelola dana memanfaatkan dana abadi
umat;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, setiap tahun kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Badan Pengelola Dana Abadi
Umat ditetapkan oleh Menteri.
BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 12
(1) Setiap warga ncgara yang akan menunaikan ibadah haji diwajibkan untuk
mendaftarkan diri kepada instansi yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Tata cara dan persyaratan serta jangka waktu pendaftaran pada setiap musim
haji ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 13
Pengaturan warga negara di luar negeri yang hendak menunaikan ibadah haji
diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Dalamm rangka pengaturan kuota nasional, Menteri menetapkan kuota untuk
setiap propinsi dengan memperhatikan prisip keadilan dan proporsional.
(2) Gubernur Kepala Daerah tingkat I selaku koordinator menetapkan kuota untuk
kabupaten/kotamadya.
(3) Dalam hal kuota nasional tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran,
Menteri dapat memperpanjang masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas
secara nasional.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 15
(1) Menteri berkewajiban menetapkan pola dan tata cara pembinaan calon jemaah
haji dan jemaah haji.
(2) Menteri berkewajiban menerbitkan pedoman manasik dan panduan perjalanan
ibadah haji.
(3) Pembinaan dilakukan demi keselamatan, kelancaran, ketertiban, dan
kesejahteraan jemaah haji serta demi kesempurnaan ibadah haji tanpa
memungut biaya tambahan di luar BPIH yang telah ditetapkan.
BAB VII
KESEHATAN
Pasal 16
(1) Pembinaan dan Pelayanan kesehatan haji, baik pada saat persiapan maupun
pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, dilakukan oleh Menteri yang ruang
lingkup, tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang
kesehatan.
BAB VIII
KEIMIGRASIAN
Pasal 17
(1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji menggunakan paspor hijau
yang dikeluarkan o1eh Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani,
paspor haji.
Pasal 18
Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang
Perhubungan mengkoordinasikan dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan
penyelenggaraan transportasi jemaah haji yang meliputi pemberangkatan dari tempat
pembarkasi ke Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
Pasal 19
Pelaksanaan transportasi jemaah haji di Arab Saudi di bawah koordinasi dan
tanggung jawab Menteri.
Pasal 20
Penunjukan pelaksana transportasi jemaah haji dilakukan oleh Menteri dengan
Memperhatikan keselamatan, efisiensi, dan kenyamanan.
BAB X
BARANG BAWAAN
Pasal 21
(1) Jemaah haji dapat membawa barang bawaan ke luar negeri dan/atau dari luar
negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
o1eh Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang
ketiangan.
BAB XI
AKOMODASI
Pasal 22
(1) Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jemaah haji tanpa biaya
tambahan di luar BPHI.
(2) Pengadaan akomodasi bagi jemaah haji dilakukan dengan memperhatikan
syarat-syarat kesehatan, kenyamanan, kemudahan, dan keamanan jemaah haji
beserta, barang bawaannya.
BAB XII
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 23
(1) Dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji bagi masyarakat yang
membutuhkan pclayanan khusus, dapat disclcnggarakan pclayanan
ibadah haji khusus pelayanan khusus, dapat diselenggarakan pelayanan
ibadah haji khusus
(2) Penyelenggaraan ibadah Haji Khusus ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Penyelenggara ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. hanya menerima pendaftaran dan melayani calon jemaah haji yang
menggunakan paspor haji;
b. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;
c. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat
datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;
d. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan
penyelenggaraan ibadah haji khusus dan perjanjian yang disepakati kedua,
belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan ibadah haji khusus diatur lebih lanjut
dengan keputusan Menteri.
(3) Penyelenggara ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan;
b. pencabutan izin penyelenggara;
c. pencabutan izin usaha.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN PERJALANAN
IBADAH UMRAH.
Pasal 25
(1) Perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan.
(2) Perjalanan ibadah umrah dapat:
a. diurus sendiri; atau
b. diuruskan oleh penyelenggara perjalanan ibadah umrah.
(3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah adalah masyarakat dan ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah wajib:
a. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;
b. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat
datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;
c. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan
perjalanan ibadah umrah dan perjanjian yang disepakati kedua
belah pihak mcliputi hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Ketentuan tentang penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah diatur lebih
lanjut dengan keputusan Menteri.
(3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan;
b. pencabutan izin penyelenggara;
e. pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 27
(1) Barangsiapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penerima pembayaran BPIH
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan/atau bcrtindak sebagai
penerima Pendaftaran calon haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1), padahal dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa, yang dengan sengaja bcrtindak sebagai penyelenggara perjalanan
ibadah umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), padahal dia tidak berhak untuk itu,
diancam dengan pidana pcnjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 28
(1) Penyelenggara ibadah haji khusus yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2) Penyelenggara perjalanan ibadah.umrah yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini akan ditctapkan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
(2) Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan mengenai
penyelenggaraan ibadah haji dan penyelenggaraan ibadah umrah yang
bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
(3) Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Ordonansi Haji
(Pelgrims Ordonnantic Staatsblaad Tahun 1922 Nomor 698) termasuk segala
perubahan dan tambahannya dinyatakan tidak berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AKBAR TANDJUNG
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 53
PENJELASAN
A. T A S
UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
I. UMUM
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh umat
Islam yang memenuhi kriteria istitha'ah, antara lain mampu secara materi, fisik,
dan mental. Bagi bangsa Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas
nasional karena di samping menyangkut kesejahteraan lahir-batin jemaah haji,
juga menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya
di Arab Saudi mengingat pelaksanaannya bersifat massal dan berlangsung dalam
jangka waktu yang terbatas, penyelenggaraan ibadah haji memerlukan manajemen yang
baik agar tertib, aman dan lancar.
PeningkaLan petubinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jemaah haji
diupayakan melalui penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah
haji Penyempurnaan sistem dan manajemen tersebut dimaksudkan agar calon jemaah
haji/jemaah haji lebih siap dan mandiri dalam menunaikan ibadah haji sesuai
dengan tuntunan agama, schingga diperoleh haji mabrur.
Upaya peningkatan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan dari tahun ke tahun
agar tidak terulang kembali kesalahan dan/atau kekurangan yang terjadi pada
masa-masa sebelumnya.
Untuk tercapainya maksud tersebut, diperlukan suasana yang kondusif bagi
warga yang akan melaksanakan ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat
dicapai apabila pihak penyelenggara ibadah haji mampu memberikan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah haji dan jemaah haji
Pembinaan meliputi pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan, pelayanan meliputi
pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan, dan akomodasi Perlindungan
meliputi perlindungan keselamatan dan keamanan, perlindungan memperoleh
kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, serta penetapan BPHI yang terjangkau
oleh calon jemaah haji. Sehubungan dengan itu, penyelenggara ibadah haji
berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan secara baik
dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan yang diperlukan calon jemaah haji/
jemaah haji.
Mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan
menyangkut martabat serta nama, baik bangsa, kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab Pemerintah Keikutsertaan
masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.
Berkaitan erat dengan penyelenggaraan ibadah haji adalah penyelenggaraan
perjalanan ibadah umrah. Mengingat minat masyarakat untuk menunaikan ibadah
umrah cukup besar serta dalam rangka untuk memberikan pembinaan, pelayanan,
dan perlindungan kepada calon jemaah umrah dan/atau jemaah umrah, maka
undang-undang ini juga mengatur penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.
Selama ini peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan ibadah
haji sebagaimana tercantum dalam Pelgrims Ordormantic 1922, termasuk perubahan
serta tambahannya. dan Pelgrims Vcrordcning tahun 1938, dan berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penyclcnggaraan ibadah haji dan
penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah, antara lain:
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang
Penyelenggaraan Urusan Haji;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 1964 tentang
Penyelenggaraan Urusan Haji secara Interdepartemental;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1969 tentang
Penyelenggaraan Urusan Haji oleh Pemerintah;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1981 tentang
Penyelenggaraan Urusan Haji;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1983 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Urusan Haji;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1996 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan ibadah Umrah;
sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin kualitas pembinaan, pelayanan
Dan perlindungan yang merupakan kebutuhan mendasar dalam penyelenggaraan
ibadah haji dan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama, ini perlu
disesuaikan dan ditingkatkan mcnjadi undang-undang. Dengan demikian,
Undang-undang tentang Penyelenggaraan ibadah Haji sudah saatnya untuk
diwujudkan.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Cukup jelas
Pasal 2
Pelaksanaan hak untuk menunaikan ibadah haji didasarkan pada prinsip
keadilan dan pemerataan yang diatur lebih lanjut dengan keputusan
Menteri.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemerintah dapat membentuk Badan Penyelenggara lbadah Haji sesuai dengan
kebutuhan.
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penunjukan Tim Kesehatan Haji Indonesia dilakukan oleh Menteri atas usul
menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang
kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dilaksanakan setiap
Tahun oleh komisi di dalam DPR-RI yang membidangi agama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Menteri pada rekening Menteri adalah menteri sebagai
lembaga, yang dalam pelaksanaannya. Menteri dapat menunjuk pejabat di
lingkungan tugas dan wewenangnya bertindak untuk dan/atau atas namanya.
Pertimbangan oleh Gubernur Bank Indonesia dimaksudkan dalam rangka
Memberikan jaminan keamanan BPIH yang disetorkan oleh calon jemaah haji
pada bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta nasional yang ditunjuk
sehingga dapat memberikan kepastian keberangkatan bagi calon jemaah haji.
Ayat (2)
Yang dimaksud kuota adalah kuota nasional yang merupakan batas maksimal
jumlah jemaah haji Indoncsia pada tahun yang bersangkutan.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah
Haji adalah meninggal dunia sebelum bertolak dari tempat embarkasi menuju
Arab Saudi.
Huruf b
Apabila dalam pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada saat akan berangkat,
Ternyata calon jemaah haji menderita, suatu penyakit yang diperkirakan dapat
mengganggu. pelaksanaan ibadah haji atau sedang dalam keadaaa hamil, batal
keberakatannya.
Yang dimaksud dengan batal karena alasan lain yang sah diantaranya karena
Mengundurkan diri, memberikan identitas palsu, dan/atau dicekal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengelolaan Dana Abadi Umat secara lebih berdaya
guna, dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat adalah segala sesuatu
yang dapat menunjang kemajuan dan/atau kesejahteraan umat, antara lain
di bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan
sarana dan prasarana ibadah, serta penyelenggaraan ibadah haji.
Ayat (2)
Susunan keanggotaan Badan Pengelola Dana Abadi Umat terdiri atas unsur
pemerintah dan masyarakat.
Susunan keanggotaan Dewan Pengawas terdiri atas unsur masyarakat dan
pemerintah.
Susunan kcanggotaan Dewan Pelaksana terdiri atas unsur pemerintah.
Menteri perlu mendengarkan pertimbangan lembaga atau, organisasi Islam
dalam mengusulkan susunan keanggotaan. Badan Pengelola Dana Abadi Umat.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada ayat
ini adalah komisi di dalam DPR-RI yang membidangi agama.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kuota nasional adalah jumlah maksimal warga negara
yang dapat mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji pada tahun yang
bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kuota propinsi adalah jumlah maksimal penduduk pada
suatu propinsi yang dapat mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji
pada tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan prinsip keadilan dan proporsional dalam menetapkan
kuota propinsi adalah prinsip penetapan kuota oleh Menteri dengan
memperhatikan jumlah pendaftar pada tahun-tahun sebelumnya dan jumlah
penduduk pada setiap propinsi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kuota kabupaten/kotamadya adalah jumlah maksimal
Penduduk pada suatu kabupatce/kotamadya yang dapat mendaftarkan diri untuk
menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Dalam menetapkan kuota kabupaten/kotamadya, gubernur/kepala daerah tingkat I.
memperhatikan prinsip keadilan dan proporsional, yaitu memperhatikan jumlah
pendaftar pada tahun-tahun sebelumnya dan jumlah penduduk pada setiap
kabupaten/ kotamadya.
Ayat (3)
Yang dimaksud pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional
adalah pendaftaran yang tidak terikat lagi pada ketentuan kuota propinsi
dan/atau kabupaten/kotamadya.dalam hal kuota nasional belum terpenuhi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Paspor haji merupakan dokumen resmi negara yang dikeluarkan oleh Menteri
bagi warga negara yang berada di wilayah Indonesia dan berlaku untuk
menunaikan, ibadah haji.
Penggunaan paspor selain paspor haji dimungkinkan bagi warga negara yang
Akan menunaikan ibadah haji dan penggunaan paspor tersebut selanjutnya
diatur oleh Menteri dengan tetap memperhatikan kuota nasional.
Warga negara Indonesia yang menetap di luar negeri dalam menunaikan
ibadah haji menggunakan paspor sclain paspor haji.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanpa biaya tambahan di luar BPIH adalah tanpa biaya
Tambahan yang dikenakan kepada jemaah haji untuk akomodasi karena biaya
tersebut sudah termasuk di dalam pcrhitungan komponen BPIH.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Laporan itu dimaksudkan agar Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi
dapat mengetahui dan mengawasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah
sehingga jemaah umrah terlindungi dari tindakan penyelenggara perjalanan
umrah yang tidak bertanggung jawab.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara ibadah haji khusus adalah
penanggungjawab, pengurus dan/atau pemilik penyelenggara ibadah haji
khusus.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penyelenggara perjalanan umrah adalah pengurus dan/
atau pemilik penyelenggara perjalanan ibadah umrah.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3832